Oleh: Miqdad Husein*
Di tahun politik ini kalangan agamawan, ilmuwan dan budayawan seperti mendapat ujian sangat berat. Belantara dinamika politik benar-benar seperti air bah yang menerobos ke seluruh ruang-ruang sampai ke pojok terpencil. Kepengapan sangat terasa menyebabkan mereka yang berpikir waras akan mudah sesak nafas. Diperlukan ikhtiar serius untuk mendapat ruang berisi oksigen segar.
Sejatinya sangat tidak mudah bagi agamawan, ilmuwan dan budayawan mendapat kesegaran oksigen yang bebas dari politik. Setiap sudut pengap oleh hujatan, hoaks, fitnah atas nama kepentingan elektabilitas. Semua bercampur baur sehingga tidak jelas hitam putihnya.
Ketakjelasan makin parah ketika berbagai praktek jauh dari akal sehat itu dibungkus ajaran suci agama dengan peran penting segelintir yang mengatasnamakan agamawan yang terpeleset kepentingan sesaat. Benar-benar sebuah jelaga dan kendala yang mewujud seperti godaan kuat kepada Adam dan Hawa.
Ketiga kekuatan moral itu seperti kata Garin Nugroho sah saja menjadi bagian perhelatan hiruk pikuk politik, memilih. Bahkan Garin menyebutnya wajib untuk mendukung salah satu kandidat. Namun, katanya, keutamaan agamawan, ilmuwan dan budayawan adalah berpihak pada keutamaan nilai-nilai daya hidup warga bangsa, bukan semata memenangkan kekuasaan.
“Mandat agamawan, ilmuwan, budayawan senantiasa mengkritisi jika cara dan kata kandidat yang didukung maupun tak didukung bertentangan dengan keutamaan nilai berbangsa dan memanipulasi fakta dan data sehingga warga kehilangan peta hidup berbangsa sesuai UUD,” tegas Garin.
Artinya, agamawan, ilmuwan serta budayawan memang harus selalu berada di tengah masyarakat. Bukan menyepi dan menyendiri ke pojok-pojok sempit. Mereka bahkan harus selalu menjadi bagian penting mencerahkan kekeruhan di tengah masyarakat yang sedang berada dalam moment politik.
Untuk di era media sosial seperti sekarang ini sangat tidak mudah menjalankan tugas itu. Sumber kekeruhan mengalir dari semua sudut sehingga nyaris tak terkontrol. Mereka yang berkepentingan menaikkan elektabilitas menyemburkan atmosfir kekeruhan mengotori pandangan sehingga menyesatkan masyarakat dari peta kebenaran.
Kadang, ketika peran ‘suci’ dijalankan resistensi dari mereka yang sudah tercemar sangat luar biasa. Begitu dasyatnya resistensi sehingga kebenaran yang sudah telanjangpun tetap ditolak karena pertimbangan elektabilitas kandidat yang didukung. Kebenaran mengalami metamorfosis menjadi sekedar kepentingan elektabilitas. Makin kental –lagi-lagi ketika dibungkus rapi ajaran suci agama.
Kerasnya resistensi dan dasyatnya arus kekelamanan itu bukan hal luar biasa bila menimbulkan dilema pada agamawan, ilmuwan dan budayawan. Meluruskan harus berhadapan dengan resistensi sangat kuat, mendiamkan ada rasa bersalah karena sangat jelas menghianati eksistensi pengemban dan penjaga moral.
Seorang intelektual memberikan contoh menarik tentang godaan sikap dilematis itu. Ia menceritakan selalu mendapat pesan yang diberi catatan apakah ini hoaks, fitnah? Pesan sejenis membombardir sehingga bukan lagi keinginan klarifikasi yang dikedepankan tetapi lebih menjadi serbuan menggoda untuk membenarkan. Sebab, ketika kemudian dicoba diberikan bantahan berdasarkan data akurat –bukan persepsi atau opini- yang terjadi bukan kejujuran menerima kebenaran malah diam-diam menolak dengan mengalihkan persoalan. Apalagi kalau bukan karena kepentingan elektabilitas.
Inilah kondisi jagad sosial negeri ini. Sebuah kondisi carut marut ketika mereka yang selalu berteriak mengedepankan akal sehatpun justru menebarkan kekeruhan berpikir. Kebenaran benar-benar berada dititik kritis ketika hanya bersandar kepentingan elektabilitas demi memuaskan syahwat kekuasaan.
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.