Oleh: MH. Said Abdullah*
Salah satu rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU, di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat agar tidak menyebut kafir kepada nonmuslim ternyata menimbulkan kehebohan relatif panjang. Perdebatan pro dan kontra mewarnai berbagai media baik mainstream maupun media sosial.
Demikian gencarnya perdebatan kadang sempat mengarah sikap saling ejek serta tersebarnya meme. Sesuatu yang tidak seharusnya terjadi apalagi menyangkut persoalan keagamaan. Seperti penyakit, kebiasaan lama muncul pula kecenderungan membelokkan atau bahkan memplintir persoalan.
Yang paling kasat mata tudingan bahwa Nahdatul Ulama (NU) seakan ingin menghapus kata kafir dalam Alquran. Atau, dalam bahasa lebih ekstrim tudingan NU akan mengubah isi Alquran. Berderetlah kemudian berbagai serangan konyol yang menyebutkan bahwa nanti surat Al-Kafirun misalnya akan diubah menjadi ‘qulya ayyuhal nonmuslim.’ Dan masih banyak kekonyolan lainnya.
Hal lain yang kurang dipahami adalah anatomi keputusan Munas yang merupakan rekomendasi. Namanya rekomendasi sifatnya lebih merupakan imbauan, permohonan, atau saran. Mau dilaksanakan atau tidak sepenuhnya terserah masyarakat sendiri. Juga, tergantung pemerintah bila memang ingin mengadopsi keputusan Munas NU.
Sulit memang diingkari ada nuansa plintiran dalam merespon rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU itu. Ada dugaan ini terkait kepentingan Pilpres karena NU -walau tidak dalam penegasan kelembagaan- dianggap bersemangat mendukung salah satu pasangan Capres Cawapres. Nuansa menggiring ke permainan politik terasa aromanya jika mencermati perdebatan siapa yang pro dan kontra terutama upaya memplintir persoalan intinya.
Sebenarnya sangat jelas rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU itu subtansinya mengarah pada relasi sosial kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat. Bagaimana umat Islam dalam konteks sosial saat berhubungan dengan kalangan masyarakat lain, yang berbeda agama. Katakanlah, semacam akhlak sosial agar tidak timbul ketegangan hubungan antarumat beragama.
Semua agama di dunia memang memiliki cara pandang khas terhadap kalangan luar atau penganut agama lain. Dalam konteks internal sebutan-sebutan khas, yang berhubungan dengan akidah, normatif kitab suci tidak ada masalah. Namun akan lain ketika ‘sebutan khusus’ itu memasuki wilayah sosial yang lebih kompleks, ketika berhadapan keanekaragaman kehidupan sosial serta menyangkut hubungan antarumat beragama.
Di sinilah NU memberikan perspektif bagaimana dalam konteks kepentingan hubungan kehidupan bernegara menghadapi kalangan masyarakat berbeda agama merekomendasikan menggunakan kata nonmuslim. Tujuannya sebagai akhlak sosial yang tidak menempatkan perbedaan keterikatan keagamaan pada posisi berjarak secara sosial. Juga, untuk meminimalkan potensi ketegangan hubungan antarumat beragama. Bagaimanapun sebutan kafir bila diarahkan kepada ‘mereka’ muatannya terasa negatif serta terkesan menganggap sebagai musuh. Sesuatu yang dapat menggelisahkan dalam konteks hubungan sosial antar anak bangsa.
Di Negara-negara Islam dalam konteks kehidupan bernegara dan berbangsa penggunaan istilah nonmuslim sebenarnya sangatlah biasa. Dalam kartu tanda penduduk (KTP) beberapa Negara di Timur Tengah seperti di Arab Saudi, mereka yang beragama nonmuslim tidak disebut kafir tapi ghorul muslim, nonmuslim.
Apakah Arab Saudi, Negara tempat Islam turun yang menggunakan istilah nonmuslim dalam identitas warga yang tidak beragama Islam sebagai tindakan untuk merobah Alquran? Rasanya, terlalu amat sangat jauh jika pikiran seperti itu sampai terlintas.
Hal lain yang menarik dari usulan NU tersebut untuk internal umat Islam justru menguntungkan dan memberikan dorongan ukhuwah Islamiyah. Melalui rekomendasi itu berbagai riak-riak perbedaan pemahaman keislaman yang seringkali menimbulkan tudingan kafir dapat diminimalkan. Jika kepada yang berbeda agama saja direkomendasikan jangan memanggil kafir apalagi kepada sesama umat Islam, yang hanya berbeda pemahaman.
Melalui rekomendasi itu secara tak langsung sedang diupayakan mengurangi sikap dan perilaku takfiri di kalangan internal umat Islam. Dalam konteks Indonesia merupakan angin segar sebagai upaya merekatkan tali persaudaraan bangsa. Dan hikmah tersembunyi yang ternyata sangat luar biasa: sesama umat Islam tak lagi gampang menyebut kafir hanya karena perbedaan pemahaman. Selalu ada hikmah di balik kehebohan.
*Wakil Ketua Banggar DPR RI