Oleh: Miqdad Husein
Gembar gembor penangkapan Ketua Umum PPP Romahurmuziy oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikhawatirkan masyarakat akan mempengaruhi elektabilitas Joko Widodo, Calon Presiden nomor urut 01. Apalagi Rommy, panggilan akrab pucuk pimpinan PPP itu dikenal sangat dekat dengan Presiden Jokowi. Kasus Rommy dianggap mirip dengan kebohongan Ratna Sarumpaet, yang dinilai mempengaruhi elektabilitas Prabowo Subianto, Calon Presiden nomor urut 02.
Sejauh ini memang belum ada data kualitatif dalam bentuk hasil survei misalnya. Apa yang berkembang masih merupakan anggapan dan asumsi yang belum dibuktikan melalui metodologi penelitian ilmiah seperti survei. Jadi, bisa saja asumsi itu benar namun sangat mungkin pula meleset.
Dari segi anatomi kasus Rommy dan Ratna Sarumpaet memang ada perbedaan mendasar terutama kaitan respon dari kedua kubu Tim Pendukung. Dalam kasus Ratna Sarumpaet memang sangat terasa ada persambungan terutama ketika tokoh-tokoh dari Capres Prabowo-Sandi sempat memberikan pembelaan melalui konferensi pers. Jadi, masyarakat seakan melihat korelasi kasus Ratna Sarumpaet dengan Tim Prabowo-Sandi. Belakangan Tim Prabowo-Sandi menyampaikan pernyataan maaf, karena ternyata Ratna Sarumpaet berbohong.
Dalam kasus Rommy, walau seperti Ratna Sarumpaet sama-sama menjadi bagian dari Tim pendukung ada batas sangat jelas. Tim Jokowi-Ma’ruf Amin sama sekali secara terbuka tidak memperlihatkan kaitan dengan kasus Rommy. Secara tegas bahkan Presiden Jokowi mengatakan menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. Jadi, tak ada misalnya pembelaan dan pembenaran terhadap pernyataan Rommy yang mengaku dijebak.
Kasus Rommy ini lebih mirip dengan kasus Setya Novanto maupaun Idrus Marham. Dua tokoh Partai Golkar itu yang terkena kasus sama sekali tidak mempengaruhi elektabilitas Jokowi. Respon arif Jokowi dengan mendorong proses hukum justru makin meyakinkan masyarakat keseriusan pemerintah sekarang ini dalam pemberatasan korupsi.
Dampak memang akan sangat terasa pada PPP seperti juga kasus Setyo Novanto pada Golkar, jika tidak diantisipasi secara cepat dan tuntas. Ibarat virus, jika tak segera dilokalisir bisa merembes ke berbagai anatomi PPP sehingga membuat makin sakit karena ditinggal masyarakat yang kecewa.
Masyarakat luas terutama yang belum memberikan sikap dalam dukungan Pilpres mengapresiasi tindakan hukum yang dilakukan KPK. Masyarakat dengan tertangkapnya Rommy ini percaya bahwa Jokowi serius melibas koruptor. Jika kawan seiring, satu tim dan partainya menjadi pendukungnya saja dibiarkan dilibas apalagi sosok-sosok lainnya.
Hal yang menarik lainnya terkait peta anatomi kasus hukum Rommy terhadap elektabilatas Jokowi dapat dikaji juga pengalaman proses politik pemilihan presiden di negeri ini. Faktor dukungan partai pengaruhnya tidak sepenuhnya menentukan. Pilpres demikian pula Pilkada sangat personal. Jika sosok calonnya menarik dukungan masyarakat, asal muasal partai kadang tidak diperhitungkan masyarakat.
Masih ingat terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baik dalam pemilihan presiden tahun 2004 maupun tahun 2009. Pada tahun 2004 elektabilitas Partai Demokrat, yang mendukung dan mencalonkan SBY tak sampai 10 persen. Namun ternyata SBY dalam putaran pertama memperoleh suara jauh melampaui suara Partai Demokrat.
Pada pelaksanaan Pileg 2009 banyak analis memberikan pendapat bahwa keberhasilan Partai Demokrat memperoleh suara signifikan karena faktor SBY. Jadi bukan partai yang membesarkan SBY tapi justru SBY yang karena ketokohannya mampu mengatrol Partai Demokrat.
Di luar data-data sederhana itu sudah pasti tergantung pula kemampuan pengelolaan opini dari masing-masing Tim Kampanye. Jika mereka mampu berkelit, memanfaatkan secara cerdik, sebuah kejadian kurang baik justru bisa memberikan manfaat politik menguntungkan. Tergantung siapa yang cerdik bersiasat mengelola momen menjadi menguntungkan.
Politik itu komunikasi. Kemampuan berkomunikasi dengan masyarakatlah yang terpenting dan bukan isi atau peristiwanya. Kemasan menjadi lebih penting dari isi. Begitulah politik. (*)
*Kolumnis, Tinggal di Jakarta.