Oleh: Miqdad Husein
Cobalah sesekali berjalan-jalan ke arah puncak Kabupaten Bogor. Usai melewati pasar Cisarua yang selalu macet, setelah Taman Safari, tepatnya pada kilometer 84, masuklah ke jalan kecil di sebelah kanan. Jangan terkejut jika ada suasana agak beda.
Begitu masuk jalan kecil deretan huruf Arab besar-besar terpampang kasat mata. Ada nama villa, cafe, warung kecil, salon termasuk juga tempat jualan kambing semua tertulis dalam bahasa Arab. Nama Abu Ali, Ahmad dan lainnya begitu jelas terpampang dalam huruf Arab.
Sore hari sampai malam, suasana Arab lebih terasa lagi. Jika pada pagi hari yang hilir mudik masyarakat setempat, sore hari sampai malam makin mudah terlihat pria-pria gagah berhidung mancung khas Timur Tengah. Jika tak melihat bentuk bangunan dan tak mendengar celotehan bahasa Sunda siapapun akan menyangka berada di Timur Tengah.
Tak hanya di kawasan kilometer 84 suasana bernuansa Arab terlihat. Belakangan makin mudah ditemui lokasi-lokasi sejenis yang memberikan gambaran tentang banyaknya komunitas masyarakat Timur Tengah di sekitar kawasan wisata Jawa Barat.
Jika dibanding daerah pemukiman masyarakat Tionghoa di Jakarta, kawasan ‘Arab’ itu terasa lebih terbuka. Di lingkungan masyarakat dan pertokoan Tionghoa jarang ditemukan huruf Cina. Nama-nama toko kalau tidak menggunakan bahasa Indonesia ya bahasa Inggris populer.
Dua hal bertolak belakang ini terasa pula dalam persepsi masyarakat. Komunitas Arab yang terbuka dengan simbol-simbol tak pernah dipermasalahkan sementara kalangan masyarakat Tionghoa justru paling sering menjadi sorotan. Kata Cina seakan dipenuhi muatan kebencian. Bahkan sudah menjadi rahasia umum salah satu potensi SARA yang gampang dieksploitasi sebagai pemicu kerusuhan ya soal Cina.
Di moment Pilpres sekarang ini Cina termasuk salah satu yang dijadikan amunisi menarik simpati pemilih melalui penyebaran kebencian. TKA asal Cina, investasi Cina, penguasaan ekonomi oleh etnis Cina sangat seksi jadi komoditas politik.
Seorang Tionghoa muda dalam sebuah grup WhatsApp pernah menyampaikan protes keras. Kenapa katanya etnis Cina selalu jadi permasalahan. “Ada masyarakat Cina kumpul disorot dan dicurigai. Lha orang-orang Arab di Puncak, di Sukabumi ngak pernah disinggung,” protesnya, kesal.
Harus diakui komunitas Arab di tempat-tempat wisata yang bahkan seperti membentuk komunitas mirip perkampungan jarang dipermasalahkan. Kalau toh pernah jadi sorotan lebih ke soal perempuan. Ya nikah kontrak, nikah Sirri dan hal-hal terkait persoalan syahwat. Sebatas itu saja. Praktis “soal Arab” di negeri ini hampir tak pernah menimbulkan ketegangan.
Ada yang berpendapat soal Arab tak ada masalah karena kesamaan agama. Di luar itu komunitas Arab baik yang sudah lama dan baru di negeri ini berbaur. Pernikahan laki-laki Arab dan wanita setempat sudah menjadi hal biasa.
Berbeda dengan keturunan Tionghoa. Ada jarak relatif jauh karena sikap ekslusif mereka. Apalagi ditambah perbedaan agama dengan mayoritas masyarakat negeri ini. Kesenjangan ekonomi yang terkait soal perut mudah sekali menumbuhkan kecemburuan sosial sehingga makin membentangkan jarak.
Dalam proses pembaruan melalui pernikahan keturunan Arab jauh lebih maju. Bahkan belakangan ini, -yang sebelumnya sangat jarang- wanita keturunan Arab semakin banyak menikah dengan penduduk lokal.
Perbedaan antar suku, keturunan dan status sosial selalu ada sebagai realitas kehidupan. Apakah akan dijadikan jarak atau sebaliknya sebagai titik masuk interaksi memperkaya keindahan kehidupan, semua tergantung itikad masing-masing. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.