Oleh: Miqdad Husein
Mulai tanggal 24 Maret proses Pemilu 2019 memasuki masa kampanye terbuka. Seluruh kekuatan partai politik bergerak untuk meyakinkan para pemilih. Demikian pula para Calon Presiden dan Wakil Presiden mulai mengajak dan merayu pemilih melalui tawaran visi misi serta program bila terpilih.
Berbeda dari pemilu sebelumnya, kali ini Pileg bersamaan dengan Pilpres. Masyarakat langsung berhadapan tawaran untuk memilih para calon legislatif dalam berbagai tingkatan dan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dua hajat besar berbarengan ini dari segi kepraktisan memang harus diakui. Termasuk dari segi cost pembiayaan akan jauh lebih murah. Energi dan konsentrasi masyarakatpun terhadap pemilu dapat berlangsung sekaligus.
Kebijakan pemilu serentak ini juga diterapkan secara perlahan dalam pelaksanaan Pilkada. Walau masih dibagi dalam tiga tahap yaitu Pilkada 2016, 2017 dan 2018, nantinya Pilkada di seluruh Indonesia diharapkan dilaksanakan serentak untuk menghindari efek kejenuhan politik serta pemborosan cost dan hal-hal lainnya.
Untuk pelaksanaan pemilu serentak legislatif dan eksekutif pada tahun 2019 sekarang ini ada beberapa hal yang layak menjadi perhatian. Yang paling mencolok adalah ternyata Pileg seakan tenggelam hiruk pikuk Pilpres. Pileg seperti kalah pamor dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Antusias masyarakat dapat dilihat dengan mudah lebih mengarah pada Pilpres. Bahkan pada taraf tertentu Pileg seperti kehilangan greget sehingga mempersulit pelaksanaan kampanye para calon anggota legislatif, termasuk calon anggota DPD. Gegap gempita hampir sepenuhnya terarah pada Pilpres.
Perbincangan masyarakat misalnya, praktis hanya soal Pilpres; hampir tak terdengar tentang Pileg. Demikian pula di media mainstream maupun media sosial praktis sama sekali tak terlihat perbincangan soal Pileg. Kalau toh ada -itupun sekadarnya- kampanye beberapa calon anggota legislatif.
Sepinya proses pelaksanaan Pileg ini jelas kurang sehat untuk kepentingan pengembangan demokrasi di negeri ini. Pileg bagaimanapun bernilai tak kalah penting dari pelaksanaan Pilpres maupun Pilkada, yang merupakan ajang pemilihan eksekutif di tingkat daerah. Pemilihan eksekutif dan legislatif ibarat dua sisi mata uang logam yang sama-sama bernilai penting untuk demokrasi lebih baik.
Tak bisa dipungkiri negeri ini membutuhkan anggota legislatif berkualitas yang diharapkan menjadi kekuatan penyeimbang terhadap eksekutif. Legislatif berkualitas akan dapat menjadi kekuatan pengawasan dan dapat memberi arah optimal terhadap kinerja eksekutif. Sebaliknya bila legislatif kurang mampu berperan akan membuat eksekutif kehilangan terutama -kekuatan kontrol. Jelas ini sangat berbahaya bagi pertumbuhan demokrasi serta perbaikan kehidupan pemerintahan di negeri ini.
Ketika pemilihan anggota legislatif seperti pesta tanpa kemeriahan, potensial membuat masyarakat memilih seenaknya. Masyarakat sekedar mencoblos tanpa mengetahui, mengenal calon legislatif.
Beberapa waktu lalu Litbang Kompas memaparkan hasil penelitiannya tentang pengenalan masyarakat kepada para calon anggota legislatif. Hasilnya sangat mencengangkan. Pengenalan masyarakat kepada calon legislatif hanya dalam kisaran sekitar 5 sampai 6 persen. Ini artinya, mayoritas anggota legislatif jauh dari dikenal oleh masyarakat pemilih.
Jika dalam persoalan pengenalan saja sangat minimal apalagi menyangkut rekam jejak, kualitas, loyalitas dan kometmen para calon anggota legislatif dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Sangat mungkin -itu tadi- masyarakat akhirnya dalam memilih anggota legislatif sekedar mencoblos atau bisa jadi hanya memilih partai saja.
Kondisi ini seharusnya mendapat perhatian serius KPU dan Bawaslu serta pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU. Perlu evaluasi kritis penyelenggaraan Pileg dan Pilpres bersamaan. Jika akan diteruskan apa yang perlu dibenahi dan diperbaiki. Atau kembali terpisah seperti lima tahun lalu? Semua untuk kepentingan peningkatan kualitas demokrasi, kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.