JAKARTA, koranmadura.com – Dua mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan tersebut sudah diajukan ke MK pada 27 Februari 2019 oleh Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah Ritonga. Mereka merasa hak pilih mereka terancam karena akan mencoblos di luar daerah asal.
“Ketentuan-ketentuan mengenai DPTb (Daftar Pemilih Tambahan) bermasalah dan berpotensi mencederai hak konstitusional sebagai warga negara,” tulis Joni dalam keterangan tertulis, Jumat, 1 Maret 2019.
Mereka mengajukan uji materi atas Pasal 210 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2) dan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu. Pasal-pasal itu mengatur terkait pindah memilih dan DPTb. Hal-hal yang merugikan adalah UU Pemilu membatasi pindah memilih paling lambat 30 hari sebelum pemilu. Padahal banyak kasus pindah memilih terjadi dekat Hari H.
Kemudian jumlah surat suara cadangan yang diatur UU Pemilu hanya dua persen. Hal ini dinilai bisa membuat banyak orang pindah memilih tidak terakomodasi karena surat suara terbatas.
Selain itu, mereka mempermasalahkan aturan pembatasam surat suara. Misalnya Roni yang memiliki KTP Sumatera Utara hanya mendapat surat suara Pilpres jika mencoblos di Bogor.
“Hakikat memilih untuk semua jenis pemilihan dalam Pemilu merupakan partisipasi bagi bangsa dan negara tanpa harus dibatasi sekat-sekat kedaerahan atau daerah pemilihan,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, gugatan itu sudah diterima kepaniteraan MK. Gugatan akan dicek terlebih dulu sebelum dilanjutkan ke persidangan.
“[Sesudah ini] verfikasi berkas, kalau sudah lengkap nanti diregistrasi, baru kemudian sidang pendahuluan,” kata Fajar saat dihubungi secara terpisah.
KPU sempat meminta masyarakat menggugat UU Pemilu ke MK. Pasalnya KPU melihat ada potensi pemilih yang memilih di luar daerah asal akan tidak terakomodasi.
Hal ini karena KPU memprediksi akan ada sekitar 500 ribu orang yang pindah memilih pada Pemilu 2019. Sementara KPU tidak punya surat suara tambahan selain surat suara cadangan 2 persen di setiap TPS.
“Mungkin ada warga negara yang statusnya DPTb, khawatir hak pilihnya hilang, itu bisa mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Komisioner KPU Viryan Aziz saat ditemui di Kantor KPU. (CNNINDONESIA.com/ROS/VEM)