SAMPANG, koranmadura.com – Sikap pragmatis masyarakat dan elit politik dinilai menjadi faktor utama maraknya politik uang di setiap menjelang pelaksanaan pemilu.
Hal itu dinyatakan pengamat sosial Pamekasan, Mohammad Ali Humaidi, dalam acara Kopi Pemilu yang diselenggarakan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kabupaten Sampang,, Senin, 1 April 2019.
“Bukan hal baru di setiap tingkatan pemilu,” katanya.
Kondisi tersebut, kata dia, menyebabkan tujuan pemilu tidak tercapai secara maksimal karena ditentukan oleh faktor uang dan bukan oleh faktor kesadaran.
Dalam pemilihan umum, figur yang terpilih harusnya merupakan figur yang sesuai dengan hati nurani dengan didasarkan pada rekam jejak dan tawaran gagasan pembangunan yang dimiliki, bukan seberapa banyak uang yang diberikan kepada calon pemilih.
Saat ini, jelas pengajar di salah satu perguruan tinggi negeri di Madura itu, di masyarakat masih berlaku kaidah “Tongket (settong suarah seket ebuh/ satu suara Rp 50 ribu).
“Artinya, untuk menjatuhkan pikihan pada figur calon masih didasarkan pada nilai uang dan bukan integritas sosok figur serta gagasan programnya,” jelas Ali Humaidi.
Namun ia yakin, pada saatnya masyarakat akan sadar bahwa pembangunan lebih penting sebagai alasan menentukan pilihan. Bahkan di beberapa daerah perdesaan, kesadaran akan hal tersebut sudah mulai tumbuh.
“Tinggal bagaimana merawatnya, dan ini menjadi tugas bersama, termasuk para calon,” katanya.
Komisioner Bawaslu Jatim, Eka Rahmawati mengatakan, pihaknya telah berupaya melakukan pencegahan dan pengawasan terjadinya praktik politik uang. Sebab kasus tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran pidana pemilu.
“Praktik politik uang adalah pidana pemilu yang tidak hanya bersifat pelanggaran administratif. Karenanya penanganannya bukan hanya menjadi kewenangan Bwaslu tapi juga kepolisian,” katanya. (MUHLIS/GHOZI/DIK)