Oleh: Miqdad Husein*
Beberapa hari setelah klaim kemenangan Prabowo yang sampai tiga kali dan diikuti tasyakur, makin terlihat jelas kualitas kebohongannya. Pertama klaim kemenangan disebut mencapai 52 persen. Belakangan berubah menjadi 62 persen. Bahkan ada pernyataan dari Tim Prabowo jika tidak dicurangi kemenangan disebut mencapai 80 persen.
Pijakan klaim kemenangan Prabowo disebut berdasarkan hasil perhitungan internal dari 320 ribu TPS. Termasuk pula hasil quick count dan exitpoll internal.
Usai klaim sepihak itu bertebaran tudingan bahwa quick count lembaga survei bohong. Pemilu diteriaki penuh kecurangan. KPU yang sedang kerja keras mengimput data C1 dituding dan diserang habis melakukan rekayasa dan kecurangan.
Yang menarik ketika lembaga-lembaga survei yang dituding bohong secara jantan membuka diri, memaparkan metodelogi serta kesiapan diaudit, tim BPN Prabowo yang diundang tak ada satupun yang hadir. Mereka sibuk melontarkan berbagai klaim dan tudingan termasuk misalnya bahwa ada 13 juta pemilih gangguan jiwa. Padahal berdasarkan data di KPU hanya 54,294.
Masyarakat, terutama kalangan intelektual dan media mainstream tak begitu saja menerima klaim sepihak itu. Apalagi dari TKN Jokowi tak kalah gencar mempertanyakan dasar klaim kemenangan Prabowo. TKN Jokowi merespon dan menantang saling terbuka yang ditindaklanjuti memperlihatkan War Room real count.
Pelan mulai terkuak berbagai kemuskilan klaim Prabowo. Yang paling sederhana ketika ditanya dimana tempat War Room Tim Prabowo. Jawaban Fadly Zon membuat publik tersenyum ketika mengatakan bahwa tim yang menghitung pindah-pindah untuk menghindari hacker. Jadi timnya nomaden.
Mereka yang memahami dunia maya akan menganggap penjelasan Fadly justru makin memperlihatkan kebohongannya. Fadly berlagak bodoh menganggap aktivitas dunia maya seperti praktek kerja fisik sehari-hari sehingga perlu pindah-pindah agar tak diserang hacker.
Wartawan tak mau ketinggalan dihinggapj tanda tanya lalu berusaha mencoba melacak ada di mana War Room. Ternyata di DPP Gerindra tak ada kegiatan sama sekali. Pernyataan tokoh penting BPN Prabowo dari PKS Mardani Ali makin memperlihatkan ‘Hoaks’ real count internal 02 ketika menegaskan dirinya benar-benar tidak tahu ada perhitungan internal.
Keanehan terbaru ketika Ketua BPN Prabowo yaitu Joko Santoso ditanya hasil perolehan suara perhitungan BPN malah menyuruh tanya ke KPU. Tim BPN juga meminta form C1 ke Bawaslu. Lha klaim 62 persen kemenangan dari mana.
Sebuah hitung-hitungan matematis makin memperlihatkan klaim Prabowo atas dasar Hoaks. Sangat tidak mungkin dalam waktu kurang dari 9 jam bisa terkumpul data dari 320 ribu TPS. Berdasarkan hitungan kasar saja untuk mengkonversi 1 lembar Form C1 membutuhkan waktu sekitar lima menit. Itu jika data yang tertulis sangat jelas.
Jika seorang operator bekerja 8 jam saja dalam kondisi lancar dia hanya dapat menyelesaikan sekitar 90 C1 perhari. Katakanlah kerja di KPU berlangsung 24 jam dengan tiga shift, itu berarti sekitar 270 lembar C1 yang selesai dikerjakan untuk satu komputer.
Jika KPU menyiapkan 200 komputer untuk operator sebanyak 600 orang yang bekerja shift 24 jam dan berjalan normal akan menyelesaikan 200 x 270= 54,000 form C1 perhari. Itu artinya untuk menyelesaikan sekitar 813 ribu TPS memerlukan waktu sekitar 15 hari. Di sini membayangkan real count nomaden seperti disebut Fadly Zon seperti kata pelawak Asmuni ‘hil yang mustahal.’
Ini belum berpikir tentang ruang yang diperlukan untuk 200 komputer. Listrik dibutuhkan sekitar 200 x 500 watt=100,000 watt.
Dari paparan selintas ini pertanyaannya, apa mungkin dapat dilakukan real count sejumlah 320 ribu TPS dalam waktu 9 jam? Termasuk juga disebut berpindah-pindah? Seperti, lagi-lagi kata pelawak Asmuni hampir pasti ‘hil yang mustahal.’
Melihat potensi kemuskilan berdasarkan perhitungan matematis dan jawaban para petinggi BPN, termasuk pula yang disampaikan Sudirman Said bahwa real count tak sepenuhnya dapat dibuka ke masyarakat, siapapun yang berpikir jernih akan menduga bahwa klaim Prabowo adalah Hoaks dasyat, yang sangat berbahaya. Disamping ada proses pembodohan publik sangat jelas di sini bisa disebut secara sistematis melakukan kebohongan publik. Apalagi ketika kemudian berbagai komentar dilontarkan menuding kecurangan dalam pelaksanaan pemilu termasuk juga secara sistematis mendeligitimasi KPU yang dianggap berpihak kepada pasangan Capres Cawapres nomor 01.
Secara kualitas klaim kemenangan Hoaks ini jelas jauh lebih berbahaya dari kasus Hoaks Ratna Sarumpaet. Dengan mencermati prosesnya, termasuk berbagai lontaran pernyataan yang muncul ke permukaan tergambar jelas klaim kemenangan Hoaks berlangsung sistematis, massif dan terstruktur dengan keterlibatan massa pendukung sangat luas.
Jika BPN tidak dapat menunjukkan bukti bahwa ada proses real count mencapai 320 ribu TPS, dalam waktu sekitar 9 jam sejak selesai perhitungan, indikasi dugaan terjadi tindak pidana kegaduhan dan kebohongan publik tampak jelas. Jika kasus Ratna Sarumpaet dapat dipidana, secara kualitatif klaim kemenangan Hoaks lebih mungkin lagi.
Sudah saatnya aparat hukum mulai berpikir untuk bertindak. Apa yang terjadi belakangan ini sudah berbahaya karena mengaduk-aduk emosi masyarakat serta potensial membenturkan pendukung kedua pasangan Capres Cawapres. Sebelum meluas dan menimbulkan bara lebih panas tindakan melokalisir Hoaks klaim kemenangan perlu segara dilakukan.
*Kolumnis, tinggal di Jakarta