Oleh: Miqdad Husein
“Katanya ekonomi Indonesia baik, pertumbuhan lima persen. Lima persen ndasmu? Melawan angkara murka, melawan ketidakadilan, melawan pemimpin yang menipu rakyat, Ibu Pertiwi diperkosa.”
Jangan berpikir kalimat di atas dilontarkan oleh preman-preman pasar yang sedang marah. Jangan pula berpikir kalimat itu muncul dari para demonstran yang berteriak-teriak di tengah panas matahari. Jangan terkejut. Kalimat sarkastis itu diteriakkan Prabowo Subianto, Calon Presiden Nomor urut 02.
Mungkin mereka yang berpikir sehat tidak akan menyangka kalimat ‘ndasmu’ dilontarkan oleh calon pucuk pimpinan nasional negeri ini. Demikian pula kata ‘ibu pertiwi diperkosa’ tak terbayangkan ke luar dari pernyataan seorang calon presiden. Tapi fakta dan data ternyata sudah berbicara bahwa pernyataan kasar itu memang diucapkan seorang Prabowo Subianto dalam acara kampanye di Gelora Bung Karno, Jakarta. (7/4/2019).
Bagi sebagian masyarakat yang sedikit liberal mungkin akan memaklumi bila pernyataan itu disampaikan di ruang terbatas. Namun lagi-lagi, mereka yang berpikir sehat akan kecewa, karena ternyata pernyataan sangat kasar itu disampaikan di tengah ribuan massa, yang di dalamnya hampir bisa dipastikan ada anak-anak kecil, yang mengikuti orangtuanya.
Jika kepada orang tua saja kalimat itu tidak pantas diucapkan apalagi di ruang terbuka di tengah ribuan massa, lebih-lebih bagi anak kecil yang belum mengerti tentang politik dan konteks mengapa ucapan itu disampaikan. Anak-anak yang hadir akan merekam kuat pernyataan kasar itu sebagai sesuatu yang biasa, yang sah saja disampaikan di manapun. Bukankah calon presiden sudah mencontohkan?
Sebelumnya Neno Warisman mengulang kontroversi yang pernah dilakukannya ketika berdoa terkesan memaksa Allah. Kali ini Neno Warisman melontarkan kalimat sarkastis yang jauh dari kenyataan ketika menyebut rezim zalim akan tumbang. Sebuah pernyataan yang lagi-lagi jauh dari muatan pendidikan politik.
Menyebut rezim zalim kepada pemerintah sekarang ini benar-benar merupakan sikap sangat bertolak belakang dari kenyataan. Jika pemerintah sekarang zalim tak akan ada seorang Neno Warisman berdiri berteriak-teriak. Tak akan ada pemilu. Juga, tak akan ada kesempatan kampanye bebas dan terbuka seperti yang dihadiri Neno Warisman.
Neno Warisman dengan usianya yang sudah 54 tahun tentu bisa membandingkan situasi di masa Orde Baru, yang begitu represif dibandingkan dengan sekarang ini yang begitu bebas luar biasa. Bahkan begitu bebasnya seorang presidenpun seenaknya dihina dan difitnah, di era sekarang ini.
Masyarakat negeri ini tentu dapat menangkap secara cerdas apa sebenarnya yang terjadi di Gelora Bung Karno itu. Yang terpapar bukanlah sebuah kampanye elegan serta sehat sehingga memberi pencerdasan kepada masyarakat negeri ini. Di Gelora Bung Karno sejatinya telah terjadi distorsi dan pembodohan politik yang tidak mendorong pengembangan kehidupan demokrasi menjadi lebih baik. Bahkan dengan mencermati kosa kata yang terlontar seperti ndasmu, ibu pertiwi diperkosa dan rezim zalim terasa ada aroma provokasi.
Rasanya bisa dipahami ketika Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa perlu mengirimkan surat agar disampaikan kepada Prabowo Subianto. “Kita harus belajar dari pengalaman sejarah di seluruh dunia, betapa banyak bangsa dan negara yang mengalami nasib tragis (retak, pecah dan bubar) selamanya. The tragedy of devided nation. Saya pikir masih banyak narasi kampanye yang cerdas dan mendidik.”
Di bagian lain SBY menegaskan bahwa penyelenggaraan kampanye nasional (dimana Partai Demokrat menjadi bagian di dalamnya) tetap dan senantiasa mencerminkan “inclusiveness”, dengan sasanti “Indonesia Untuk Semua.” Juga mencerminkan kebhinekaan atau kemajemukan. Juga mencerminkan persatuan. “Unity in diversity”. Cegah demonstrasi apalagi “show of force” identitas, baik yang berbasiskan agama, etnis serta kedaerahan, maupun yang bernuansa ideologi, paham dan polarisasi politik yang ekstrim.
Lebih jauh ditegaskan SBY bahwa pemimpin yang mengedepankan identitas atau gemar menghadapkan identitas yang satu dengan yang lain, atau yang menarik garis tebal “kawan dan lawan” untuk rakyatnya sendiri, hampir pasti akan menjadi pemimpin yang rapuh.
Ada pesan moral luar biasa dari SBY bagaimana para pemimpin agar berhati-hati memilih narasi dalam berkomunikasi dengan rakyat. Sebab, narasi kasar, bernuansa konflik yang muncul dari elit akan mudah ditafsirkan lain oleh rakyat. Mengutip pesan dai Sejuta Ummat KH. Zainuddin MZ bahwa jika antar elit pemimpin bersitegang pagi hari, sore bisa jadi sudah dapat makan malam bersama di hotel berbintang. “Sementara rakyat sudah mengasah golok,” katanya.
Pemimpin seharusnya memang menenangkan, mencerahkan pemikiran serta menumbuhkan rasionalitas rakyat. Bukan bersikap sebaliknya memanas-manasi dan membangkitkan emosi rakyat. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.