Oleh : Miqdad Husein
Sudah tiga kali Prabowo Subianto melakukan deklarasi kemenangan dalam Pilpres 2019. Bertepatan hari Jumat, dua hari setelah pemilu dilaksanakan juga syukuran kemenangan.
Yang menarik, dalam tiga kali deklarasi ada perbedaan klaim jumlah kemenangan Prabowo. Yang pertama menyebut kemenangan mencapai 52 persen. Belakangan angka itu naik menjadi 62 persen.
Apa dasar atau pijakan kemenangan Prabowo Subianto? Sudah pasti bukan hasil dari quick count (QC) lembaga-lembaga survey resmi yang ditayangkan hampir seluruh media mainstream. Sebab semua lembaga yang menyelenggarakan QC ternyata memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dengan selisih sekitar 7 sampai 9 persen. Termasuk lembaga survey yang selama ini dikenal memiliki relasi dengan pasangan Prabowo yaitu Median dan Kedai kopi.
Sebagaimana ditegaskan Prabowo pada setiap deklarasi dasar pijakannya Exit poll internal, quick count internal serta perhitungan real internal. Yang menarik ketika beberapa lembaga survey berkumpul menantang buka-bukaan methodelogi serta hasil QC, tak satupun dari Tim BPN Prabowo Sandi, yang datang.
Jadi apa sebenarnya maksud dari klaim kemenangan Prabowo yang sampai tiga kali dan diikuti acara tasyakur itu. Jika mereka memiliki data akurat tentu akan memiliki keberanian untuk ‘buka-bukaan’ bersama lembaga survey yang telah memberikan hasil dengan kemenangan Jokowi Ma’ruf Amin.
Pernyataan Prabowo yang tidak percaya dengan hasil QC lembaga yang memenangkan Jokowi makin terasa aneh ketika membuka lembaran lama sikapnya ketika Pilkada Jakarta tahun 2017. Saat itu Prabowo menyambut gembira penuh bahagia ketika Anies-Sandi yang dicalonkan Gerindra dengan dukungan antara lain PKS menang berdasarkan hitungan cepat (QC). Makin bahagia ketika real count ternyata hampir sama dengan perhitungan QC.
Maka muncul pandangan sinis yang menyebutkan ketidaksiapan menerima hasil QC memperlihatkan standar ganda dari Prabowo. Jika menang dari hasil perhitungan QC akan diterima sedang kalau kalah ditolak mentah-mentah. Ini kata orang Jawa mau menang ‘dewek, pinter dewek.’
Bahkan ketika diajak terbuka memaparkan pijakan perhitungan masing-masing tidak mau. Ini memberikan gambaran jelas ada dugaan klaim yang selama ini diteriakkan sama sekali tidak berdasar. Kalau berdasar mengapa takut.
Dari sini muncul analisa bahwa berbagai deklarasi kemenangan Prabowo sebenarnya memang tidak memiliki dasar. Prabowo melakukan deklarasi bukan karena merasa menang tapi justru sebaliknya merasa memang kalah namun tak mau mengakui kekalahannya. Lalu dijalankan apa yang disebut strategi firehose of falsehood.
Strategi ini sebenarnya tidak lebih dari menebar kebohongan dengan kebohongan untuk menanamkan keyakinan kepada pengikutnya bahwa Prabowo menang. Melalui cara menebar kebohongan berulang-ulang para pendukung diharapkan yakin karena terpesona realitas semu. Tak lupa ditanamkan doktrin bahwa informasi apapun yang ada di luar dianggap sesat dan tak perlu dipercaya.
Apa yang dilakukan Prabowo ini memiliki persambungan dengan berbagai penyebaran hoax sebelum pelaksanaan pemilu. Hoax ada 7 kontainer suara dari Cina yang sudah dicoblos untuk kemenangan pasangan nomor 01; server KPU dihack sehingga bocor, info kesemrawutan DPT dan entah apalagi. Semua memiliki persambungan yang menebarkan antara lain ketakpercayaan kepada KPU, QC dan pemberitaan telivisi.
Berhasilkah? Strategis strategi firehose of falsehood tak akan berhasil tanpa penguasaan seluruh media. Strategi menanamkan kebohongan itu akan berhasil jika media memang lebih berpihak pada mereka yang menjalankannya. Sebaliknya, jika dipakai di tengah media yang plural dan sangat terbuka seperti sekarang bukan hanya sulit berhasil. Bahkan akan timbul pantulan kebalikan yang menentang keras.
Lihatlah belakangan ini pantulan strategi kebohongan yang ditanamkan ke tengah masyarakat. Bukan hanya penolakan. Belakangan muncul video meme yang meledek Prabowo, yang sudah merasa menjadi Presiden Indonesia ketika menerima rombongan berseragam.
Sangat banyak meme lucu-lucuan di media sosial yang meniru Prabowo sedang menerima rombongan dengan berlagak seperti presiden. Ini sangat jelas menggambarkan kegagalan strategi firehose of falsehood dan bahkan yang muncul justru kebalikan bernada satire.
Masyarakat Indonesia yang berpikir waras tentu menyesalkan berbagai deklarasi yang dapat menebar kekeruhan itu. Apalagi juga banyak berbagai video hoax ataupun yang asli tentang berbagai kasus-kasus kesalahan bersifat teknis yang dianggap kecurangan. Masyarakat seperti dijejeli informasi kasus perkasus lalu diseret untuk menyimpulkan semua tahapan pemilu bermasalah.
Jelas sangat ironis. Bagaimana mungkin pemilu yang diselenggarakan lebih dari 813.000 TPS dianggap gagal total karena puluhan atau ratusan TPS bermasalah. Apalagi ketika disadari betapa pemilu di Indonesia itu tergolong paling kompleks di dunia. Jelas merupakan kecerobohan logika.
Para tokoh, dari agamawan maupun akademisi sebenarnya sudah bersuara lantang meminta semua pihak agar menuggu real count KPU. Presiden Jokowipun, hanya sebatas mengakui QC dan meminta para pendukungnya agar bersabar serta terus mengawal perhitungan real.
Jika semua masyarakat bersabar dan kembali bekerja sebagaimana biasa tanpa kehilangan perhatian untuk mengawasi perhitungan real, rasanya energi bangsa Indonesia tidak akan menguap percuma. Masih banyak pekerjaan yang seharusnya mendapat perhatian ketimbang sibuk menebar berbagai kebohongan yang sia-sia. Menunggu yang riil dengan penuh kesabaran, jauh lebih baik dibanding menebar kebohongan dan berbagai spekulasi tidak bermanfaat. Ayo move on lah.