MALANG, koranmadura.com – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur (Jatim), belum memutuskan untuk melakukan gugatan class action (mewakili masyarakat) terhadap Pemerintah Kota Malang atas kebijakannya yang dinilai menyalahi aturan di bidang lingkungan hidup.
Dari beberapa kali mendampingi masyarakat dalam kasus sengketa lingkungan hidup di Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang sejak 2014 lalu, kata dia, putusan hakim justru tidak berpihak pada masyarakat. Selain itu, PN tersebut belum memiliki hakim yang bersertifikasi lingkungan hidup.
“Kami menganggap pengadilan masih menjadi rumah yang aman bagi perusak lingkungan. Jika kami menempuh jalur class action dan kalah, maka keputusan pengadilan itu sama saja dengan legalisasi kesalahan,” kata Dewan Daerah Walhi Jatim, Purnawan D. Negara, saat jumpa pers di Kota Malang, Sabtu, 30 Maret 2019 lalu.
Beberapa kebijakan Pemkot Malang, kata dia, tidak sesuai dengan aturan lingkungan hidup. Diantaranya menggunakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk lokasi pembangunan pusat perbelanjaan maupun perkantoran.
Hal itu mengakibatkan berkurangnya wilayah resapan karena makin sempitnya Ruang Terbuka Hijau dan menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir di Kota Malang, yang berada di dataran tinggi dan memiliki sungai terpanjang di Jawa Timur.
Ia mencontohkan, lokasi Matos (Malang Town Square) yang merupakan pusat perbelanjaan modern terbesar di Malang, awalnya adalah kawasan RTH publik. Demikian pula beberapa kantor kelurahan, dibangun di kawasan yang seharusnya dilindungi karena merupakan kawasan hijau.
Kasus terakhir yang ditemukan Walhi, adalah rencana pembangunan sebuah apartemen berlantai 25 di dekat Taman Kota Malabar atau di belakang Pasar Oro-Oro Dhowo.
Rencana pembangunan apartemen oleh salah satu perusahaan properti ternama di Indonesia tersebut, menurut pengajar salah satu perguruan tinggi di Malang itu, tidak mungkin terlaksana jika tidak mendapat ijin dari Pemkot. Sebab, pengembang harus memiliki dokumen Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) yang diterbitkan Pemkot sebelum rencana tersebut dilaksanakan.
“Yang biasa terjadi, dibangun dulu baru Amdalnya menyusul. Ini saja sudah menyalahi aturan. Belum lagi soal lokasinya,” katanya.
Pria yang biasa dipanggil Pupung itu pernah putus asa setelah berbagai upayanya menentang kebijakan pemerintah di wilayah Malang Raya yang menyalahi aturan mengenai lingkungan hidup selalu kandas, temasuk di pengadilan.
Pengajar salah satu perguruan tinggi itu tidak lagi percaya dengan lembaga atau instansi pemerintah, karena dianggapnya sama dan berpihak pada kepentingan bisnis daripada menyelamatkan ruang terbuka hijau hingga memilih jalan pintas, dengan mengadukan masalahnya ke tuhan.
Pada 2005 lalu iapun berkirim surat ke tuhan berisi rangkaian kasus alih fungsi lahan hijau menjadi pertokoan disertai keluhan dan harapan-harapannya.
“Saya berpikir hanya tuhan yang bisa perbaiki Malang,” katanya.
Surat itupun dimasukkan dalam sebuah amplop terbaik yang ia miliki. Di bagian luar amplop, selain menuliskan amalatnya secara lengkap sebagai pengirim, ia tulis juga “Kepada Tuhan Pencipta Alam di tempat” sebagai alamat yang dituju. Dan setelah diberi prangko secukupnya, surat itu diserahkan ke Kantor Pos Kota Malang.
Sekitar tiga minggu kemudian, ia menerima kiriman dari Kantor Pos yang ternyata surat yang ia kirim sebelumnya disertai keterangan “Kembali, alamat tidak dikenal”.
Luapan terakhir atas kekecewaannya itu, pria berkacamata itu membuat coretan di kain hitam dengan cat putih “Malangku yang malang, masih ada tangan yang memhuatmu malang” dan dibentangkan di pagar rumahnya.
“Bagi saya, yang penting keluh-kesah tersalurkan,” ujanya. (G. Mujtaba/DIK)