KORANMADURA.com – Tajul Muluk sudah menunggu kedatangan koranmadura.com dan mengajak duduk di salah satu sudut tidak jauh dari jemaahnya yang membenahi peralatan salat. Saat saya datang, Selasa (30/4) siang, ia baru saja melaksanakan salat Zuhur dan Asar dengan cara dijama’ (disatukan) bersama ratusan jemaahnya di lantai III Rusunawa Puspo Agro, Jemundo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Lantai III blok B itu memang dijadikan sebagai musala bagi kelompok Syiah asal Kabupaten Sampang yang sejak 2013 lalu mengungsi di perumahan tersebut akibat konflik sosial. Mereka terdiri dari 89 keluarga dan selama beberapa tahun telah menghuni rumah susun tidak jauh dari Pasar Puspo Agro tersebut. Mereka menempati dua blok, yakni satu lantai di blok A dan tiga lantai di blok B.
Sebuah koran bekas menjadi alas duduk kami. Berita soal hak pilih warga Syiah menjadi berita utama di koran harian lokal Madura edisi Kamis tanggal 4 April 2019 itu.
“Saya dapat kiriman koran itu dari teman di Madura, yang datang ke sini beberapa hari lalu” kata Tajul Muluk membuka perbincangan.
Pada pemilu kali ini, mereka terpaksa tidak bisa menggunakan hak pilihnya secara normal setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan memasukkan mereka yang memiliki hak pilih dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) di Sidoarjo. Dari 89 keluarga, terdapat 224 orang yang terdaftar dalam DPTb.
Konsekuensinya, mereka tidak bisa memilih di daerah pemilihan (Dapil) tempat tinggal asal di Sampang dengan lima jenis surat suara (DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI, dan hak suara Pilpres) dan harus memilih di Jemundo dengan hanya dua jenis surat suara (DPD RI dan surat suara Pilpres).
“Ada hak kami yang hilang di pemilu tahun ini. Bukan hanya tidak bisa lagi menjadi calon anggota legislatif, bahkan memilih mereka pun kami tidak lagi bisa,” kata Tajul Muluk.
Ia mengaku sudah melakukan upaya agar bisa mengikuti proses pencoblosan di Sampang, atau setidaknya, meskipun tetap mencoblos di Sidoarjo, mereka tetap bisa mendapatkan hak tiga jenis surat suara lainnya (DPRD Kabupaten, Provinsi dan DPR RI) seperti pemilih lainnya.
Di antara upaya yang dilakukannya, mengadu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Timur pada 15 April. Bawaslu menyatakan tidak mungkin memenuhi keinginan Tajul Muluk dan jemaahnya, karena keterbatasan waktu.
“Memang waktu itu waktu hari H tinggal dua hari. Kami diminta untuk tetap menggunakan hak suara meski hanya pada dua jenis surat suara. Keputusan itu terpaksa kami terima meskipun kami telah kehilangan sebagian hak sebagai warga negara,” jelas Tajul.
Persoalan yang dialami Tajul Muluk dan jemaahnya, bukan hanya masalah kehilangan sebagian hak pilih. Mereka juga merasa mengalami pembedaan perlakuan dari pemilih lainnya, karena harus memilih di TPS yang secara khusus disediakan untuk mereka. TPS bernomor 21 itu berada di halaman Rusunawa.
Pada hari selasa tanggal 16 April , seluruh penhuni Rusunawa, termasuk kelompok Tajul Muluk, mendapat formulir A.5 dengan posisi kolom TPS yang dikosongi. Kemudian pada hari yang sama, PPS Jemundo membentuk TPS di halaman Rusunawa, yang ternyata TPS bernomor 21 itu, disediakan khusus bagi para pengungsi asal Sampang. Tidak seperti pemilu sebelumnya, mereka melakukan pemungutan suara seperti warga lainnya.
Pada hari pemungutan suara, cerita Tajul, jemaahnya menyatakan keberatan menyalurkan hak pilih di TPS khusus tersebut, dan meminta disatukan dengan pemilih lainnya. Alasan mereka, dengan mencoblos di TPS khusus itu, maka pilihan mereka akan mudah diketahui sehingga tidak ada asas bebas dan rahasia.
“Sekilas TPS khusus itu seperti layanan khusus. Tapi bagi kami itu adalah satu bentuk diskriminasi dan pengabaian atas hak menyalurkan suara secara langsung, bebas dan rahasia. Jelas suara kami ke mana akan mudah diketahui, terutama untuk Pilpres,” kata Tajul.
Dengan pertimbangan kepentingan yang lebih besar, jelas ayah dua orang anak itu, sebagian jemaahnya bersedia menyalurkan suara di TPS tersebut, sedang lainnya dengan terpaksa memilih tidak menyalurkan hak suara.
Tajul Muluk, menyatakan ia dan jemaahnya merasa pada pemilu kali ini mendapat perlakuan berbeda dari warga lain. Selain dipaksa kehilangan hak memilih anggota legislatif, mereka juga dipaksa memilih di TPS khusus.
Ia mempertanyakan fungsi KPU sebagai lembaga yang memfasilitasi terlaksananya hak pilih warga tanpa ada perbedaan perlakuan, kecuali dalam kondisi yang darurat, karena kelompoknya belum pernah diajak bicara soal langkah yang akan dilakukan dalam pemilu.
“Kami tidak ingin kondisi ini juga dialami kelompok minoritas lainnya,” katanya.
Bagi kelompok Syiah Sampang, jelas pria 47 tahun itu, akar masalahnya karena belum ada pembahasan bersama antara penyelenggara pemilu dengan kelompoknya terkait penyaluran hak pilih kelompok Syiah.
“Pernah ada pertemuan pada 12 April atau H-5 pemilu, di Kantor KPU Jawa Timur. Namun, pertemuan itu lebih bersifat sosialisasi bahwa nama kami masuk dalam DPTb dan kami disediakan TPS khusus, bukan mencari jalan keluar agar hak pilih kami bisa terlaksana sempurna,” katanya.
“Kami selama ini tidak pernah mendaftarkan diri atau melaporkan ke KPU untuk menjadi Pemilih kategori DPTb. Itu mungkin hanya main-mainan oknum KPU,” tambah Tajul.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sampang, menyatakan tidak menghilangkan hak warga Syiah. Sebab, sebelumnya mereka sudah terdaftar sebagai pemilih di Sampang sebagaimana warga lainnya.
Ketua KPU setempat, Syamsul Muarif, mengatakan pencoretan 224 nama pemilih dari kelompok Syiah dari DPT, karena nama mereka sudah terdaftar dalam DPTb di KPU Sidoarjo.
“Nama mereka sudah tercantum di Sidoarjo sebagai pemilih tambahan,” kata Syamsul Muarif.
Rencana semula, kata dia, KPU akan menyediakan TPS khusus untuk mereka dengan alasan keamanan, karena para pengungsi itu berasal dari dua kecamatan berbeda, yakni Kecamatan Omben dan Kecamatan Karangpenang.
Syamsul menjelaskan, nama para pengugsi itu masuk dalam daftar pemilih di Sidoarjo sejak dilakukan coklit (pencocokan dan penelitian) oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. Apalagi sejak pemilu 2014 lalu, nama mereka sudah masuk dalam daftar pemilih di kabupaten tersebut dan memilih di TPS yang ada di sekitar lokasi pengungsian.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Sampang, Faisol Ramadani, menilai KPU kurang maksimal menfasilitasi hak pilih warga Syiah. Semestinya, lembaga penyelenggara pemilu itu, tetap mengupayakan agar para pengungsi itu bisa menyalurkan hak pilihnya di Sampang, karena itu merupakan bagian dari hak asasi mereka.
Keputusan mencoret nama pengikut Tajul Muluk itu dari DPT di Sampang, menurutnya, adalah keputusan sepihak yang tidak seharusnya terjadi. Para pengungsi itu semestinya diberi kesempatan menyampaikan keinginan dan pendapatnya berkaitan dengan hak pilih mereka.
“Setidaknya, KPU mendatangi mereka dan membicarakan masalah ini. Jika tidak memungkinkan mencoblos di Sampang, musyawarahkan denga mereka bagaimana baiknya,” kata Faisol.
Ia yakin, seandainya 224 orang itu memilih di Sampang, tidak akan ada penolakan. Sebab, warga hanya menolak jika mereka kembali untuk tinggal, beribadah dan menyebarkan ajaran.
“Saya yakin kalau hanya pulang untuk mencoblos, tidak aka ada penolakan. Asalkan sebelumnya sudah ada sosialisasi,” katanya.
Koordinator Badang Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Surabaya, Fathul Khoir, mengatakan alasan KPU memasukkan pengungsi Sampang sebagai pemilih kategori DPTb (Daftar Pemilih Tambahan) tidak sesuai dengan aturan.
Sebab, administratif, seluruh warga komunitas Syiah asal Sampang yang menempati Rusunawa Jemundo Sidoarjo tetap tercatat sebagai warga Kabupaten Sampang dan telah tercatat sebagai Pemilih Tetap, untuk lokasi TPS di Kabupaten Sampang, sesuai tempat tinggal dalam Kartu Tanda Penduduk elektronik.
“Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dalam Pemilu 2019, DPTb adalah pemilih yang telah terdaftar dalam DPT di suatu TPS yang karena keadaan tertentu pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tersebut dan memberikan suara di TPS lain,” kata Fathul Khoir.
Dalam PKPU Nomor 37 Tahun 2018, jelas dia, keadaan tertentu meliputi menjalankan tugas pemerintahan di tempat lain pada hari pemungutan suara, menjalani atau mendampingi keluarga yang rawat inap di rumah sakit atau puskesmas, penyandang disabilitas yang menjalani perawatan di panti sosial/panti rehabilitasik , menjalani masa tahanan di rumah tahanan , karena tugas belajar, pindah domisili atau tertimpa bencana alam.
Berdasarkan ketentuan norma hukum dan fakta-fakta yang ada, kata Fathul, warga Syiah Sampang di Jemundo tidak bisa dikategorikan sebagai DPTb, dan berhak memilih di lokasi TPS sesuai dengan Daftar Pemilih Tetap yang sah.
“Kebijakan KPU mengubah status DPT warga Syiah Sampang menjadi DPTb dilakukan secara sepihak, karena warga Syiah Sampang tidak pernah mengambil inisiatif untuk mengubah status DPT mereka menjadi DPTb,” katanya.
Ia meminta agar KPU melakukan pembenahan mekanisme agar pada pemilu yang akan datang tidak ada lagi hak kaum minoritas yang terabaikan.
Warga Syiah di Kabupaten Sampang ini terusir dari kampung halamannya akibat konflik sosial pada 26 Desember 2012 lalu. Kala itu, perkampungan mereka di Dusun Nanggernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Karang Penang, Sampang, diserang kelompok tertentu. Sebanyak 47 rumah mereka dibakar.
Sebelumnya mereka diungsikan di Lapangan Olahraga Indoor Sampang dan setahun kemudian, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, memindah mereka ke Rusunawa Pospo Agro, Jemundo, Sidoarjo. (G. Mujtaba/DIK)