JAKARTA, koranmadura.com – Pembatasan terhadap akses media sosial dilakukan oleh Pemerintah menyusul hoaks kain merajalela, terutama kerusuhan terkait aksi 22 Mei di Jakarta. Sehingga pembatasan ini membuat akses membuka media sosial semakin melambat.
“Pembatasan bersifat sementara dan bertahap. Pembatasan dilakukan terhadap platform media sosial, fitur-fitur media sosial, tidak semuanya, dan messaging system,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dikutib dari detik.com.
Menurut Psikiater dr Lah dr Lahargo Kembaren mengatakan bahwa saatnya diet media sosial dilakukan. Tentu, kata Laharjo, bukan menutup akses.
“Maksudnya diet adalah lebih selektif menyikapi konten dalam media sosial. Konten yang sekiranya bisa memancing reaksi negatif tak perlu dibuka. Konten berupa foto, video, dan tulisan tersebut juga tidak perlu disharing,” kata dr Lahargo yang juga Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Marzoeki Mahdi.
Dalam hemat Lahargo, dengan diet media sosial, masyarakat bisa menjadi lebih rileks dengan menyingkirkan stresor yang berasal dari media sosial. Misal konten seputar politik atau hoaks yang belum terbukti kebenarannya.
Diet media sosial juga memberi peluang melakukan kegiatan selain politik dan isu lain yang menimbulkan tekanan. Misal kegiatan bersama keluarga, temam, atau melakukan hobi. Hal ini bisa membantu pikiran menjadi lebih positif dari yang semula cenderung negatif. (detik.com/SOE/VEM)