SUMENEP, koranmadura.com – Di bulan puasa, banyak oknum memanfaatkan kebaikan masyarakat. Salah satunya dengan mengemis atau meminta-minta. “Pengemis musiman” ini dalam melancarkan aksi, biasanya, dengan berbagai kedok.
Menyikapi fenomena seperti itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Sumenep, Madura, Jawa Timur, KH. Syafraji mengungkapkan, beberapa tahun lalu MUI telah menyampaikan tausiyah berkaitan dengan status “pengemis Ramadan” itu.
“Berkenaan dengan pengemis ini, MUI menyimpulkan bahwa pengemis ini ada dua. Yang pertama diperbolehkan, sedangkan kedua tidak diperbolehkan,” uangkap dia kepada wartawan, Selasa, 14 Mei 2019.
Mengemis yang diperbolehkan itu, sambungnya, jika yang bersangkutan memang tidak memiliki apa-apa untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta tidak memiliki kemampuan dan mata pencarian di luar mengemis.
Sedangkan yang tidak diperbolehkan, menurut dia apabila seseorang sebetulnya memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja namun malas. Yang bersangkutan lebih memilih menjadi pengemis daripada bekerja sebagaimana orang pada umumnya.
“Bahkan ketika bulan Ramadan mereka keliling ke mana-mana, ke luar daerah untuk meminta-minta. Ada yang mengaku sebagai takmir masjid, mengatasnamakan yayasan, dan sebagainya. Tapi intinya mereka meminta-minta,” tambahnya.
Hal-hal seperti itu, menurut Kiai Syafraji seharusnya tidak dikerjakan. Sebab Islam sendiri tidak ingin pemeluknya bermalas-malasan. “Mereka (tipe pengemis yang kedua) sebetulnya, kan, malas. Dan minta-minta (di bulan puasa) dijadikan tradisi,” pungkasnya. (FATHOL ALIF/ROS/VEM)