Miqdad Husein
Banyak wartawan yang pernah aktif di era menjelang reformasi merasa kaget dan heran terhadap sepak terjang M. Amien Rais di era sekarang. Lontaran pernyataannya sangat bertolak belakang terutama pada sasaran dan potensi bahayanya terkait keutuhan bangsa.
Di era menjelang reformasi berbagai pernyataan Amien Rais sangat bernas serta dilengkapi data akurat. Kritik-kritik tajamnya terhadap rezim Soeharto praktis sangat sulit dibantah. Para cendikiawan dan politisi yang berada di ketiak rezim Orbapun seperti kehilangan kekuatan serta kata-kata untuk membantah berbagai kritikan Amien Rais.
Dalam sebuah kesempatan diskusi di Masjid Istiqlal, sebelum rezim Orba tumbang, cendikiawan Muslim terkemuka Nurcholish Madjid memberikan apresiasi luar biasa. Cak Nur secara terbuka bahkan menilai berbagai pernyataan Amien Rais sekalipun saat itu bertolak belakang dengan realitas rezim, akan sangat terbukti di kelak kemudian hari.
Yang tentu saja paling memperlihatkan kelebihan pernyataan Amien Rais adalah muatan intelektual. Amien Rais memberikan paparan dan data obyektif tentang perilaku rezim Orba sebagaimana pernah pula dipaparkan dalam wawancara tentang kondisi Freeport di Majalah Forum Keadilan. Rakyat diajak berpikir memahami kebobrokan rezim Orba. Yang dibangkitkan kesadaran kepedulian bagaimana menghadapi kekuasaan Orba atas dasar fakta dan data bukan sekedar klaim tanpa dasar bernuansa emosional.
Karena itulah eskalasi protes perlawanan rakyat memiliki arah yang jelas. Bukan demo yang menimbulkan kerusuhan tapi kerusuhan yang membangkitkan demonstrasi perlawanan damai.
Amien Rais saat itu benar-benar tampil sebagai tokoh reformasi. Berbagai pernyataannya menggelorakan perlawanan rasional bersemangat damai seluruh rakyat negeri ini. Praktis hanya para pendukung dan penikmat rezim Orba yang bersikap antipati.
Usai memimpin MPR Amien Rais kemudian sempat ikut konstestasi Pilpres 2004 namun gagal. Amien Rais kemudian lebih banyak memberikan pemikiran bersemangat kebangsaan. Tidak salah jika dalam perjalanan waktu ada arus moral yang mentasbihkan Amien Rais sebagai bapak dan guru bangsa.
Namun, sebagaimana hadist Nabi Muhammad bahwa iman itu naik turun, moralitas politik Amien Rais mengalami fluktuasi dan perubahan dratis. Keberpihakan dan dukungan PAN, partai yang didirikannya kepada pasangan Prabowo-Hatta Radjasa pada tahun 2014 merobah Amien Rais secara frontal dari bapak bangsa menjadi provokator bangsa.
Bagi mereka yang berpikir jernih sulit memahami pernyataan Amien Rais ketika menyebut konstestasi Pilpres 2014 seperti perang Bratayuda dan perang Badar. Sebuah epos perang habis-habisan dan perang menentukan dalam perjalanan sejarah Islam.
Bagaimana mungkin sebuah konstestasi sesama anak bangsa, antara Jokowi-JK menghadapi Prabowo-Hatta Radjasa dianggap sebagai perang habis-habisan. Kalau bukan provokasi mengadu domba anak bangsa para pendukung masing-masing Capres-Cawapres, apalagi penilaian lainnya dari pernyataan itu.
Dan terbukti sejak Pilpres 2014 rakyat negeri ini seperti terbelah hanya karena perbedaan dukungan. Pada titik lebih serius dimainkannya politik identitas memunculkan kekentalan politik takfiri. Yang berbeda pilihan dianggap keluar dari Islam. Pilihan menentukan tiket ke surga dan neraka. Dasyat.
Pasca kekalahan pasangan Prabowo-Hatta Radja, bukan kesadaran kearifan serta jiwa kenegarawanan yang kembali muncul. Ibarat penyakit perilaku provokator Amien Rais justru semakin menjadi-jadi. Puncaknya ketika Pilpres 2019, seakan makin menegaskan predikat baru sebagai provokator bangsa.
Jejak digital pernyataan Amien Rais bernarasi panas mudah diperoleh dengan mudah. Yang paling menjadi perhatian pernyataan pengerahan people power yang belakangan diganti istilah dengan kedaulatan rakyat. Bahkan usai kerusuhan 22 Mei pun Amien Rais masih sempat melemparkan pernyataan panas dengan menganggap cara penanganan kepolisian dalam aksi demo seperti PKI. Belakangan usai diperiksa sebagai saksi, komentar soal penanganan polisi berubah menjadi lebih manis.
Betapa berbahaya berbagai narasi panas Amien Rais dapat dilihat dari eskalasi merebaknya ujaran kebencian dan atmosfir panas di tengah masyarakat. Bahkan para elite partaipun terpancing atau tertular ikut-ikutan menebar narasi panas. Berbagai narasi provokasi dari elite partai seperti tak percaya hitung KPU, Bawaslu dan MK bertebaran pasca Pemilu.
Bisa dibayangkan jika elite saja terseret provokasi Amien Rais, apalagi rakyat lapisan akar rumput. Karena itu bisa dipahami jika belakangan ini di media sosial, nizen marah lalu mengkampanyekan tagar tangkap Amien Rais.
Sebuah siklus frontal agaknya sedang dilalui Amien Rais sebagai provokator bangsa. Adakah akan berubah? Tergantung itikad dan kesadaran dari Amien Rais sendiri.