Jakarta, koranmadura.com- Penyanyi sensasional Syahrini merilis sebuah mukena eksklusif dengan harga tak biasa, yaitu Rp 3,5 juta per potong. Namun, banderol harga yang mahal bukan masalah, malah laku keras hingga 5.000 potong.
Harga mukena ini pun mendapat perhatian dari Ditjen Pajak Kementerian keuangan. Lewat akun Twitter @DitjenPajakRI,
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghitung pajak pertambahan nilai (PPN) dari penjualan mukena tersebut sebagai berikut: penjualan mukena 5000 buah @Rp 3,5 juta. Rp 3.500.000 x 5.000 = Rp 17,5 miliar. PPN 10% = Rp 1,75 miliar.
DJP kembali menjelaskan mengenai aturan pajak dari mukena yang pada dasarnya tidak termasuk dalam jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Artinya mukena merupakan Barang Kena Pajak, sehingga atas penyerahan atau penjualannya di dalam Daerah Pabean Indonesia terutang PPN sebesar 10%.
Melalui laman resminya, pajak.go.id, DJP menjelaskan bahwa PPN akan terutang dalam hal yang melakukan penyerahan atau penjualan mukena itu adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau pengusaha yang seharusnya sudah dikukuhkan sebagai PKP.
“Pengusaha wajib mengukuhkan diri sebagai PKP apabila dalam suatu tahun buku peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya telah melebihi Rp 4.800.000.000,00,” tulis keterangan DJP dikutip dari laman tersebut, Jumat, 31 Mei 2019.
Kemudian dijelaskan kembali bahwa jika pengusaha tidak mengukuhkan dirinya sebagai PKP, maka Ditjen Pajak dapat melakukan pengukuhan PKP secara jabatan dan kewajiban perpajakan (PPN) tetap terutang dan dapat ditagih jika peredaran brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 atau Rp 4,8 miliar.
PKP yang menjual mukena terutang PPN sebesar 10% dari harga jual wajib membuat faktur pajak atas penjualannya. PPN adalah pajak tidak langsung dan bebannya ditanggung oleh pembeli.
Lalu, berapa jumlah PPN yang harus disetor ke kas negara oleh KKP?
“Indonesia mengenal mekanisme Pajak Keluaran dan Pajak Masukan dalam sistem pemungutan PPN. PPN yang dipungut oleh PKP atas hasil penjualan mukena disebut sebagai Pajak Keluaran,” bunyi keterangan tersebut.
Ketika PKP penjual mukena membeli produknya dari PKP lain atau pabrik dan dikenakan PPN, maka PPN tersebut sebagai Pajak Masukan. Jika Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan maka selisihnya dapat dikompensasi ke masa pajak berikutnya atau dimintakan restitusi (pengembalian) dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Perhitungan PPN ini dituangkan dalam SPT Masa PPN yang wajib dilaporkan paling lambat akhir bulan berikutnya.
Ini simulasinya:
Anton sebagai PKP menjual 5.000 mukena dalam bulan Mei 2019. Harga jual satu lembar mukena sebesar Rp3.500.000,00. Anton ketika menjual mukena itu wajib memungut PPN. Jika terjual ludes, total PPN yang dipungut Anton adalah sebesar Rp1,75 miliar (5.000xRp3.500.000,00×10%).
Anton membeli 5.000 mukenanya dari PKP yang lain (pabrikan) sebesar Rp2.000.000,00 per lembar mukena. Pada saat membeli itu, Anton dipungut PPN sebesar 5.000xRp2.000.000,00×10% = Rp1 miliar oleh PKP Pabrikan.
Jadi, jumlah PPN yang disetor ke kas negara paling lambat akhir bulan berikutnya (sebelum melaporkan SPT Masa PPN) adalah sebesar Rp 750 juta (Pajak Keluaran sebesar Rp1,75 miliar dikurangi Pajak Masukan sebesar Rp1 miliar). (detik.com/SOE/VEM)