BANGKALAN, koranmadura.com – Usaha Hj. Khodijah, salah seorang pengrajin kasur tradisional di Desa Kranggan Barat, Tanah Merah, Bangkalan, Madura, Jawa Timur, kini tak sehoki yang dulu. Bagaimana tidak, usahanya yang dirintis sejak tahun 2002 lalu itu semakin hari kian sepi peminat.
Saat ini, kasur tradisional yang dibuatnya kalah bersaing dengan kasur modern yang beredar luas di pasaran seperti kasur pegas atau yang dikenal dengan sebutan spring bed. “Dulunya, setiap minggunya pasti ada yang beli kasur, sekarang satu bulan saja belum tentu ada yang membelinya,” tuturnya, saat ditemui di rumahnya, Rabu, 1 Mei 2019.
Saat masih jaya-jayanya, para pengrajin kasur di Desa Kranggan Barat pernah mendapat julukan sentra kasur di kabupaten yang terletak di ujung barat pulau Madura ini. Bahkan, Desa Kranggan Barat terkenal sebagai salah satu sentra pengrajin kasur di Kecamatan Tanah Merah itu.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, pengrajin kasur tradisional Desa Kranggan Barat saat ini sudah tinggal namanya saja. Bahkan beberapa di antara para pengrajin kasur tersebut sudah banyak yang gulung tikar.
“Kalau saya mau kerja apa lagi kalau bukan buat kasur, nak. Ingin bertani tidak punya sawah, mau usaha apa lagi, nak? Sedangkan saya di sini sebagai pendatang, nak,” ucap Khodijah, dengan nada penuh kegelisahan meratapi usahnya yang berada di ambang kepunahan.
Gubuk yang terbuat dari bambu berlesehan tanah dijadikan tempat untuk membuat kasur oleh Khodijah. Dulunya, tutur Khodijah, gubuk tersebut ramai oleh pekerja yang memproduksi kasur dengan penuh canda ria. Namun sekarang tidak lebih dari tiga orang pekerja yang masih bertahan bekerja kepada Khodijah.
Saat usaha Khodijah masih lancar, dia bisa membiayai putra-putrinya untuk sekolah sampai melanjutkan ke perguruan tinggi. Kondisi itu seakan berbalik 180 derajat, kini hanya untuk biaya makan saja diakuinya serba tidak berkecukupan. Hanya alasan menafkahi keluarganya, Khodijah kini masih bertahan di usaha pengrajin kasur walau sudah mulai sepi peminat.
Diaukui Khodijah, Jembatan Suramadu yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2009 silam, menjadi awal usaha pembuatan kasur tradisionalnya mulai merosot. Menurutnya, akses Suramadu yang memberi kemudahan bagi para pengusaha untuk membawa barang-barang yang dipasok dari Surabaya menuju Madura menjadi bumerang bagi usahanya. Salah satu dampak itu, lanjut Khodijah, yakni menjamurnya kasur modern yang menjadi pesaing kasur tradisional membanjiri toko-toko peralatan kebutuhan rumah tangga.
“Kalau masih baru-barunya diresmikan Jembatan Suramadu masih belum begitu terasa, tapi sudah mulai berkurang pesanan kasur saya dan banyak juga pada saat itu beralih ke usaha yang lainnya karena tidak bisa bersaing dengan kasur modern. Kalau yang sangat terasa itu semenjak digratiskan kendaraan mobil melewati jembatan suramadu. Kalau gratis kan gampang mau bawa barang apa saja ke Madura,” ungkapnya.
Kini, Khodijah hanya bisa berharap agar pemerintah bisa melindungi usaha yang sudah bertahun-tahun dirintisnya.
“Semoga saja oleh pemerintah nanti kami para pengrajin kasur ini diperhatikan, dan kalau bisa masuknya kasur spring bed dibatasi saja untuk Kabupaten Bangkalan agar kasur kami ini sama-sama laku juga,” harapnya. (MAIL/ROS/DIK)