By: Miqdad Husein
Mungkin hampir tak ada negara yang tingkat politisasi segala hal seperti negeri ini. Utang saja seperti ditegaskan oleh mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri hanya di Indonesia dipolitisasi.
Pernyataan Chatib Basri ada benarnya. Utang pemerintah pada dasarnya merupakan penerapan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Ironisnya ada kalangan anggota DPR yang gencar menjadikan utang sebagai amunisi politik. Padahal pemerintah tak akan berutang tanpa persetujuan DPR.
Demikian pula penjualan BUMN misalnya, tak bisa dilakukan pemerintah tanpa persetujuan DPR. Tapi lagi-lagi ‘kesepakatan’ itu digoreng seolah-olah tak pernah melibatkan DPR.
Kecenderungan mempolitisasi segala itu merembes merasuki masyarakat luas. Sehingga apapun dijadikan amunisi politik menyerang pemerintah.
Terkait pengumuman KPU tanggal 22 Mei pun dimainkan. Bahkan cenderung diplintir dianggap kesengajaan bersamaan ulang tahun PKI. Jadi seperti sering muncul tudingan pemerintah dianggap memberi angin PKI maka pengumuman Pilprespun dipilih tanggal ulang tahun PKI. Padahal ulang tahun PKI tanggal 23 Mei. Kelihatan kan politisasi dan plintirannya.
Politisasi momentum tanggal 22 Mei pada tingkat serius sangat terasa. Lebih satu bulan dari pelaksanaan pemilu itu yang seharusnya sudah cooling down malah memanas. Quick count dan real count KPU yang biasanya mendinginkan karena mengajak masyarakat berpikir lebih rasional malah menimbulkan ketegangan berlebihan.
Lagi-lagi di sini unsur politisasi berlebihan sangat terasa. Terlihat jelas kecenderungan menggoreng hasil Pemilu melalui respon jauh dari proporsional terutama dari pihak yang berdasarkan quick count kalah.
Secara logika normal katakanlah -pihak yang kalah berdasarkan quick count-akan bersikeras meminta semua pihak menunggu perhitungan manual KPU. Namun ternyata yang terjadi justru sebaliknya mereka berteriak lantang dalam berbagai cara mengklaim kemenangan.
Sikap ‘politisasi’ makin terasa aneh ketika di satu sisi mengklaim kemenangan di sisi lainnya menuding KPU curang. Lebih aneh lagi mereka tidak dapat menunjukkan kecurangannya.
Yang paling membingungkan mereka sudah tegas akan menolak keputusan KPU dan tak mau mengajukan gugatan ke MK. Menuding curang tapi tak bisa memperlihatkan bukti, tak mau mengajukan gugatan ke MK dan lebih memilih kekuatan rakyat.
Lalu maunya apa? Lagi-lagi apa yang terpapar memperlihatkan politisasi pengumuman KPU. Mereka sudah mengetahui kalah dan akan sangat sulit membuktikan bahwa ada kecurangan dengan perbedaan suara yang lebih dari 15 juta.
Teriakan tak percaya KPU dan MK adalah politisasi momentum pengumuman pemenang Pilpres untuk menggiring opini dan kekuatan rakyat. Sebuah jalan memaksakan syahwat kekuasaan dengan menggunakan cara-cara inkonstitusional.
Lagi-lagi kontradiksi super ironis: menuding pihak lain curang sementara mereka sendiri menggunakan cara-cara barbar dengan memaksakan kehendak. Mereka lupa demokrasi tanpa prosedur hukum adalah demokrasi kriminal. Begitulah.