Oleh: MH. Said Abdullah*
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengumumkan hasil final Pemilu 2019 pada tanggal 21 dini hari; satu hari lebih awal dari batas terakhir berdasarkan ketentuan UU Pemilu. Untuk Pilpres sebagaimana diprediksi sebelumnya pasangan nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin mengungguli pasangan nomor urut 02 Prabowo-Sandi.
Pasangan nomor urut 01 memperoleh suara dalam kissran 55,50 persen sementara pasangan nomor urut 02 mendapat suara sekitar 44,50 persen. PDI Perjuangan tampil sebagai partai yang memperoleh suara tertinggi diikuti oleh Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB dan lainnya.
Di luar hiruk pikuk respon masing-masing kontestan khususnya Pilpres, Tim Kampanye masing-masing pasangan Capres Cawapres serta para pendukung, angka-angka pengumuman KPU sekali lagi memberikan pembelajaran tentang proses perhitungan pemilu. Paparan hasil perhitungan Pemilu final dari KPU ternyata tak berbeda jauh dari hasil perhitungan cepat (Quick Count) berbagai lembaga survey. Perbedaan persentase ternyata hanya dalam kisaran satu persen bahkan ada yang tak sampai satu persen.
Dari sini sebenarnya semua pihak dapat mengambil pelajaran berharga bahwa hitung cepat sesuai namanya bertujuan memberikan gambaran cepat tentang hasil pemilu. Melalui hitung cepat itu masyarakat tak terlalu lama menunggu dalam ketakpastian berlebihan menunggu hasil pemilu.
Kecepatan paparan hasil melalui hitung cepat sekalipun belum sepenuhnya final dapat memberi gambaran awal tentang hasil pemilu. Masyarakat dengan demikian tidak terlalu lama tenggelam dalam situasi penuh tanda tanya.
Pertanyaannya, apakah akurasi hitung cepat dapat menjadi garansi mendekati ketepatan? Berdasarkan pengalaman sejak Pemilu 2004 ternyata hitung cepat yang mulai diterapkan di negeri ini praktis belum pernah meleset. Tingkat akurasinya sangat tinggi sehingga makin memberikan kepercayaan kepada masyarakat yang ingin mengetahui hasil pemilu secara cepat.
Methode hitung cepat ini akurat karena memang berdasarkan prinsip-prinsip akademis. Jika dilaksanakan dengan methode yang benar, disertai kejujuran ilmiah, pelaksanaan pengambilan sampling tepat sasaran kemungkinan meleset dari perhitungan real dapat dihindari. Terbukti sampai saat ini lembaga survey yang aktif melakukan hitung cepat baik dalam Pilpres maupun Pilkada di negeri ini tingkat akurasinya sangat tinggi.
Dengan mencermati prinsip-prinsip ilmiah dan akademis hitung cepat serta rekam jejak selama diterapkan di negeri ini rasanya sudah waktunya keraguan apalagi kecurigaan dibuang jauh terhadap pelaksanaan hitung cepat. Tanpa mengurangi kecermatan, kehati-hatian serta terutama pengawasan terhadap lembaga survey, sudah saatnya terutama kalangan politisi menyikapi secara arif hasil hitung cepat.
Di negara-negara yang sudah maju demokrasinya, hitung cepat telah menjadi acuan sikap politik para kontestan. Mereka langsung merespon secara proporsional hasil hitung cepat. Yang kalah berdasarkan hitung cepat langsung memberikan ucapan selamat kepada pemenang.
Tradisi inilah yang belum sepenuhnya tumbuh dan berkembang di negeri ini dalam merespon hitung cepat. Masih banyak kalangan elite politik, terutama yang kalah, memandang sinis dan tidak percaya pada hasil hitung cepat. Padahal sudah terbukti dalam berbagai event pemilihan. Ironisnya, banyak politisi yang sebelumnya percaya hitung cepat ketika ternyata memperlihatkan kemenangan. Jadi hitung cepat diakui sebagian politisi kalau ternyata memenangkannya.
Dalam perspektif demokrasi modern hitung cepat ini sangat besar manfaatnya. Selain secara teknis memberi gambaran cepat hasil pemilu, pada tataran lebih lanjut dapat mengurangi ketegangan sosial karena terlalu lama menunggu hasil perhitungan real. Jika direspon proporsional hitung cepat dapat membantu penurunan tensi panas politik.
Hitung cepat dapat pula memberi nuansa rasionalitas politik sehingga masyarakat lebih mengedepankan kejernihan berpikir. Masyarakat juga dengan hitung cepat tidak terlalu lama melingkar-lingkar dalam kondisi konstestasi dan segera kembali menjalankan kehidupan kesehariaan. Hitung cepat pada tataran teknis lainnya dapat menjadi pengawal perhitungan untuk menghindari berbagai kecurangan. Hitung cepat sekaligus sebagai alat mengawasi kinerja KPU.
Sayang sekali, dalam Pemilu 2019 ini, hitung cepat masih dipandang atas dasar kepentingan politik. Jika merasa menang diakui, jika ternyata kalah justru digoreng sehinga bukannya menurunkan ketegangan bahkan makin menaikkan tensi politik.
Seharusnya, sejak hasil hitung cepat diumumkan pada saat pelaksanaan Pemilu, apalagi setelah 35 hari KPU hitung real, ketegangan masyarakat sudah tak ada lagi. Suasana sudah seharusnya kembali dalam kehidupan keseharian. Sayang memang, harapan tinggal harapan karena kepicikan dan jiwa kerdil segelintir politisi, yang tidak siap menerima kekalahan dan hanya siap menerima kemenangan. Ironis sekali. [*]
*Wakil Ketua Bangar DPR RI