Oleh: MH. Said Abdullah*
Prabowo Subianto dan BPN secara resmi telah menyampaikan agar pengerahan massa tak perlu dilakukan pada saat putusan MK tanggal 27 Juni. Namun FPI dan PA 212 tetap bersikeras beralasan kedatangan ke MK bukan untuk membela Prabowo melainkan agama. “Kami membela agama,” kata Novel Bamukmin, yang dikenal sebagai salah satu pimpinan FPI.
Pernyataan Novel Bamukmin itu semakin memperlihatkan dan menegaskan pemanfaatan agama untuk kepentingan politik. Poster ajakan Halalbihalal Akbar dan Tahlil Akbar di MK, demikian pula rencana salat Jumat, menegaskan agama benar-benar dijadikan komoditas politik.
Namun kali ini ‘jualan’ agama dari FPI dan lainnya mulai kehilangan peminat. Terasa ada proses kesadaran dari masyarakat yang selama ini terseret penyalahgunaan agama. Apalagi ketika retorika sangat jelas menempatkan simbol dan narasi agama untuk aktivitas yang jauh dari kelaziman.
Halalbihalaldi jalanan mudah dipahami masyarakat tak lebih dari kamuflase menekan MK. Makin disadari bahwa simbol-simbol agama yang selama ini ditampilkan sepenuhnya bertujuan kepentingan kekuasaan.
Memang masih ada segelintir masyarakat terlena pajangan simbol agama sehingga mereka masih saja ikut-ikutan mendatangi MK. Namun tampaknya sudah jauh berkurang. Sikap tegas kepolisian yang tak memberikan izin pengerahan massa demo serta belajar dari kerusuhan 22 Mei agaknya menjadi pertimbangan utama sebagian besar masyarakat untuk tetap berada di rumah atau menjalankan aktifitas rutin keseharian.
Para politisi dari partai pendukung pasangan nomor 02 beberapa hari terakhir ini yang memperlihatkan kelapangan sikap memberikan kesempatan MK melaksanakan tugas konstitusionalnya ikut memberikan andil sehingga masyarakat makin bersikap rasional seperti tercermin dari hasil survey Kompas yang menerima hasil Pemilu 2019. Mereka yang secara terbuka juga menyatakan siap menerima apapun keputusan MK makin menyuntikkan sikap realistis dalam menyikapi hasil Pilpres 2019.
Secara global sejak proses sidang gugatan di MK suasana kebatinan dan kondisi politik memang relatif menurun tensinya. Sekalipun Ketua Tim Hukum Bambang Widjojanto beberapa kali menyampaikan pernyataan bernarasi agak panas namun ternyata tidak mampu mencegah penurunan tensi politik. Suasana politik relatif tenang tanpa riak-riak berarti.
Ada arus kesejukan yang menebar di tengah masyarakat negeri ini. Sebuah arus kesadaran kolektif untuk menjaga ketenangan dan kedamaian. Bahkan pernyataan provokatif Ketua Dewan Pembina PAN M. Amien Rais yang ingin mengerahkan 100 ribu massa mengawal MK seperti lintasan angin lalu yang kurang digubris masyarakat.
Pernyataan Presiden Jokowi yang bernuansa kearifan politik serta jiwa kenegarawanan melalui pernyataan pentingnya rekonsiliasi makin memberikan kesejukan. Proses dialog antar elite yang juga bernuansa relatif tenang ikut mewujudkan situasi makin kondusif.
Menggunakan simbol agama di kancah politik memang mudah membangkitkan serta menggalang solidaritas masyarakat. Namun ketika rasionalitas politik makin tumbuh penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik akan makin kurang peminat. Inilah fenomena yang belakangan mulai muncul setelah sebelumnya demikian gegap gempita.
Masyarakat agaknya makin memahami pesan subtansi agama sehingga tak mudah lagi tergoda permainan politik menggunakan simbol agama. Sebuah dinamika positif yang perlu terus dikembangkan agar demokrasi di negeri ini makin berkualitas. [*]
*Wakil Ketua Banggar DPR RI