Oleh: Miqdad Husein
PA 212, GNPF dan sejumlah organisasi lain akan menggelar aksi mengawal sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat 28 Juni mendatang. Mereka menyatakan aksi yang akan digelar di sekitar gedung MK akan berlangsung damai.
“Agendanya juga sama untuk menegakkan keadilan, kecurangan bisa diskualifikasi, yang melakukan kecurangan pada saat pemilu bisa didiskualifikasi, dengan pengawalan masyarakat, jangan takut terhadap kepentingan-kepentingan penguasa. Maka kita hadir sebagai masyarakat mengawal konstitusi yang ada. Ini aksi super damai sebagaimana kita telah lakukan sebelum-sebelumnya,” kata juru bicara PA 212, Novel Bamukmin, kepada wartawan, Kamis (20/6/2019).
Novel Bamukmin menyebut nama Amien Rais sebagai inisiator dari pelaksanaan aksi massa sekitar 100 ribu orang tersebut. Iapun mengaku ajakan aksi massa berawal dari Amien Rais yang ingin mengadakan aksi damai mengawal jalannya sidang MK.
Langkah pengerahan massa ini sebenarnya sempat disarankan oleh Capres 02 Prabowo agar tak dilakukan. Prabowo agaknya belajar dari pengalaman aksi 22 Mei yang telah menimbulkan kerusuhan dan jatuh korban jiwa.
Namun agaknya Amien Rais masih saja tidak belajar dari pengalaman aksi massa sebelumnya. Ia seperti tak peduli potensi kerusuhan dengan hanya menegaskan melalui retorika bahwa aksi akan berjalan damai. Sebuah retorika yang juga diteriakkan sebelum pelaksanaan demo rusuh 22 Mei lalu.
Pihak kepolisian tegas melarang pengerahan massa pada pelaksanaan sidang-sidang di MK. Termasuk juga sidang putusan pada tanggal 28 Juni.
Amien Rais, PA 212 dan GNPF serta beberapa Ormas Islam kembali memperlihatkan sikap ambivalennya. Mereka di satu sisi menuntut MK berlaku adil namun di sisi lain melalui pengerahan massa melakukan tekanan kepada MK agar memutuskan sejalan keinginan mereka.
Ini artinya mereka menghargai MK hanya bila memutuskan sesuai kepentingannya yaitu Capres-cawapres Prabowo-Sandi dimenangkan. Jika ternyata MK memutuskan Jokowi Ma’ruf menang sesuai keputusan KPU mereka menolak keras dan menganggap MK tidak adil.
Terlihat sangat jelas parameter keadilan dalam pandangan mereka. Demikian juga pemikiran dan sikap mereka dalam memandang MK.
MK dipersilahkan bersidang memproses gugatan Tim Hukum Prabowo Sandi. Namun MK dengan pengerahan massa sebagaimana ditegaskan Novel Bamukmin ditekan agar memenangkan Prabowo Sandi.
Ini artinya jika sebelumnya mereka berteriak tidak percaya kepada MK lalu berubah melakukan gugatan ke MK pada dasarnya sekedar membiarkan proses hukum berlangsung sesuai aturan. Namun mereka kemudian melakukan berbagai cara menekan proses hukum agar keputusannya sesuai kepentingan mereka.
Jika enak menurut selera dan kepentingan mereka, dipujilah MK. Sementara jika ternyata sebaliknya terlontarlah sumpah serapah kepada MK.
Perilaku dan pemikiran mereka ini sangat berbahaya. Bahkan jauh lebih berbahaya dari mereka yang sama sekali tidak percaya dan tak mau berurusan dengan MK.
Mereka yang tak percaya dan tak mau mengikuti proses gugatan kepada MK sangat jelas sikapnya; hitam putihnya transparan. Namun, yang terkesan percaya asal MK sejalan kepentingan dan sesuai selera mereka memperlihatkan karakteristik ‘munafik.’ Mereka percaya hukum asal menguntungkan. Mereka menjadikan hukum sekedar alat membenarkan kepentingannya.
Hukum dibiarkan terlihat berjalan baik namun harus tunduk kepentingan mereka. Proses hukum hanya seremoni dijadikan kamuflase menyuarakan dan melindungi apapun yang mereka kehendaki.
Sikap tegas aparat kepolisian yang melarang pengerahan massa dari kalangan manapun perlu diapresiasi. Masyarakat luas perlu memberi dukungan terhadap aparat kepolisian dengan memberikan sepenuhnya suasana tenang, damai kepada Hakim di MK untuk memutuskan PHPU Pilpres 2019.
Masyarakat Indonesia secara keseluruhan telah mengikuti proses sidang di MK. Dengan pemikiran jernih dan sikap dewasa masyarakat memberikan kesempatan kepada MK untuk memutuskan PHPU secara adil. Demikianlah seharusnya jika negeri ini ingin terus meningkat kualitas peradabannya.