Oleh: MH. Said Abdullah*
Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi sedang memasuki tahapan pemeriksaan saksi-saksi dari pemohon dalam hal ini Tim Hukum Prabowo Sandi. Sebagaimana dijanjikan Tim Hukum pasangan nomor 02, yang diberitakan berbagai media, banyak hal terkait pembuktian yang akan mengejutkan.
Ternyata memang benar baru beberapa saksi yang diajukan sudah mampu mengejutkan publik. Namun kejutan yang terjadi bukan memperkuat tuduhan terjadi kecurangan terstruktur sistematis dan massif. Yang terpapr ternyata kejutan yang membuat siapapun menyaksikan sidang di MK tersenyum simpul.
Contoh pertama ketikan Hakim MK I Dewa Gede Palguna menguji kesaksian Agus Maksum ihwal adanya pemilih dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) invalid di daftar pemilih tetap (DPT) Pilpres 2019. Dalam pemaparannya, Agus mengatakan KTP invalid itu lantaran Nomor Induk Kependudukan (NIK) berawalan dengan kode 10 yang tak berlaku di Indonesia.
Agus mencontohkan satu nama, yakni Udung, yang disebutnya termasuk data pemilih dengan KTP invalid. Dia meyakini nama itu tak eksis di dunia nyata. Namun dalam sesi tanya jawab dengan komisioner Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asyari, Agus mengakui dirinya tak mengecek langsung ke lapangan.
Menggelikan, bukan. Menegaskan penuh keyakinan nama Udung tak eksis di dunia nyata namun ternyata tak pernah mengecek langsung. Itu baru satu nama. Padahal Agus menyebut jumlah spektakuler 17,5 juta DPT invalid. Bisa dibayangkan jika satu yang dijadikan contoh saja akurasinya sangat meragukan apalagi angka yang jutaan.
Kelucuan lainnya ketika saksi dari tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Idham Amiruddin, memaparkan NIK siluman dan NIK rekayasa dengan memberi contoh temuan di Kabupaten Bogor dan Sulawesi Selatan. KPU balik bertanya soal pemenang Pilpres di kedua wilayah itu. Idham mengaku tak tahu. Lalu KPU memberitahu bahwa yang menang di dua daerah itu pasangan nomor urut 02 dengan angka sekitar 70 persen.
Secara logika sehat pemaparan saksi Tim Hukum Prabowo-Sandi yang titik berangkatnya bertujuan ingin menegaskan merugikan pasangan nomor urut 02 ternyata tidak terbukti. Bahkan pasangan 02 di dua daerah itu menang mutlak. Jadi jauh dari kenyataan terjadi kecurangan karena pasangan 01 kalah di dua daerah itu. Kalau pasangan 01 melakukan kecurangan kenapa masih kalah.
Yang tak kalah menggelikan tentang kesaksian ahli IT Hermansyah yang dihadirkan Tim Prabowo-Sandi. Dalam sidang, cerita kekerasan yang pernah dialami Hermansyah diangkat oleh tim hukum Prabowo-Sandi.
Ternyata peristiwa kekerasan terhadap Hermansyah terjadi pada awal Juli 2017. Hermansyah diserang di Tol Jagorawi Km 6.
Berdasarkan jejak digital dua pelaku penyerangan telah ditangkap. Mereka yang ditangkap adalah Laurens Paliyama (31) dan Edwin Hitipeuw (37). Keduanya ditangkap tim gabungan dari Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Tim Jaguar Polresta Depok, dan Polres Metro Jaktim di Jl Raya Sawangan, Depok.
Polisi menyatakan pembacokan ahli IT Hermansyah di Tol Jagorawi Km 6, Jakarta Timur, dipicu serempetan mobil korban dengan mobil pelaku. Polisi menyebut pembacokan itu spontanitas pelaku.
“Motifnya hanya karena spontan saja karena serempetan mobil, terus dikejar sama korban, kemudian pepet-pepetan, kemudian saudara Laurens (pelaku) ini keluar dan membacok,” ujar Irwasda Polda Metro Jaya Kombes Pol Kamaruzaman kepada wartawan di Mapolresta Depok, Jl Margonda Raya, Kota Depok, sebagaimana dimuat detik.com (12/7/2017). Jadi tak ada hubungan dengan pelaksanaan Pilpres 2019.
Berbagai keanehan dan kejanggalan serta bahkan kelucuan dalam pemeriksaan saksi yang dihadirkan Tim Hukum pasangan nomor 02 masih berderet panjang. Tergambar jelas persidangan di MK karena kelemahan kualitas dan keakuratan saksi terasa jauh dari harapan mencerdaskan masyarakat.
Persidangan di MK terasa sangat jauh dari gembar-gembor yang diteriakkan Tim Hukum 02 di berbagai media. Makin terbukti yang selama ini dikembangkan lebih mengesankan sekedar menebar kegaduhan. Lihatlah tudingan tidak tayangnya ILC di TvOne dan kurangnya pemberitaan acara reuni 212 yang juga dijadikan amunisi tudingan kecurangan.
Masyarakat negeri ini, pendukung Capres-cawapres manapun yang berpikiran jernih mungkin akan merasa kecewa. Harapan mendapat perdebatan intelektual yang mencerahkan jauh dari kenyataan. Yang terjadi ternyata lebih menggambarkan ketaksiapan menerima hasil Pemilu. Sayang memang, energi bangsa terbuang sia-sia karena ketakdewasaan dalam berdemokrasi. [*]
*Wakil Ketua Banggar DPR RI