Oleh: Miqdad Husein
Terkuak mengapa selama ini Tim Hukum BPN Prabowo-Sandi terkesan bersikeras menuding sinis Mahkamah Konstitusi (MK) jangan menjadi mahkamah kalkulator. Dari materi gugatan dan bukti tudingan kecurangan yang diajukan sebagian besar ternyata bersifat kualitatif.
Pada sidang pertama Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK terlihat sangat jelas tudingan Tim Hukum Prabowo Sandi sebagaimana dinilai Tim Hukum Jokowi-Ma’ruf lebih banyak berisi asumsi untuk lebih mengarahkan pada pembuktian kualitatif. Bukti-bukti fisik pun kurang mampu mereka siapkan. Ketua MK sempat mengingatkan tentang banyaknya bukti-bukti fisik yang belum dilengkapi.
Jauh sebelum proses di MK sebenarnya banyak pengamat meragukan kesiapan Tim Hukum Prabowo Sandi dalam melengkapi bukti-bukti tudingan kecurangan terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Perbedaan suara yang mencapai hampir 17 juta suara jelas merupakan angka luar biasa besar. Membuktikan kecurangan dengan perbedaan hanya 10 ribu suara saja dalam proses Pilkada sangat sulit apalagi sampai mencapai perbedaan hampir 17 juta suara.
Memainkan tudingan kecurangan bersifat kualitatif kepada KPU agaknya menjadi pilihan untuk semacam mengalihkan fokus yang selama ini menjadi pedoman beracara MK. Bersembunyi dibalik retorika agar MK tidak sekedar menjadi kalkulator, menghitung perbedaan angka perolehan suara sekedar menutupi ketakberdayaan dalam membuktikan kecurangan.
Karena itu tidak aneh bila banyak tudingan kecurangan jauh dari proporsional. Himbauan Jokowi berpakaian baju putih pun saat pemungutan suara dijadikan bukti kecurangan. Padahal Cawapres Sandiaga Uno juga melakukan hal yang sama.
Kebijakan kenaikan gaji, gaji ke 13 dan THR serta penyelesaian pembangunan tol yang dipercepat juga dijadikan amunisi menuduh kecurangan. Padahal mereka yang berpikir mengetahui bahwa urusan kebijakan ‘fulus’ Presiden Jokowi sepenuhnya berdasarkan persetujuan DPR.
Adalah hampir mustahil mereka tidak mengetahui mekanisme pengelolaan keuangan negara. Karena itu sangat mungkin apa yang terjadi lebih merupakan retorika sekedar mengaburkan opini.
Banyak hal menarik dari persidangan perdana MK terutama terkait bukti-bukti tudingan kecurangan. Namun yang tergolong sangat ‘luar biasa’ ketika Tim Hukum pemohon justru meminta bantuan dalam proses pembuktian tudingan curang. Jadi mereka -dalam bahasa sederhana- menuding KPU curang tapi tak bisa menunjukkan bukti dan meminta pihak lain yang mencarikan bukti. Alamak…
Jelas tindakan dan perilaku BPN menimbulkan keheranan dan tertawaan. Tindakan mereka di sidang MK dengan ‘minta bantuan mencarikan bukti’ kepada pihak lain sementara mereka sendiri yang menuding curang merupakan sebuah dagelan.
“Pemohon tidak memiliki kewenangan melakukan investigasi mencari alat bukti apalagi menghadirkan, memaksa orang hadir di persidangan karena itu sangat tidak fair beban pembuktian ditanggung oleh pemohon,” tegas Denny Indrayana, anggota Tim Hukum Prabowo Sandiaga sembari meminta majelis hakim MK berperan aktif mencari pembuktian kecurangan pemilu.
Lha menuduh curang lantas dasarnya apa kalau tak bisa menunjukkan bukti? Imajinasi atau halusinasi? Sekedar retorika?
Proses PHPU di MK seharusnya menjadi pilihan rasional sejalan ketentuan perundangan-undangan. Sesuatu yang sebelumnya sempat disepelekan Tim Hukum Prabowo Sandi. Semua pihak yang berada di MK juga seharusnya berperilaku memberikan tauladan untuk kepentingan pencerdasan politik agar demokrasi di negeri ini bertambah berkualitas. Begitulah. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.