Oleh: Miqdad Husein
Idulfitri di negeri ini identik dengan permohonan maaf antar sesama umat Islam dan bahkan dari kalangan non-muslim. Belakangan memang mulai relatif ramai ucapan warna lain dalam bentuk doa yang dianggap lebih sesuai petunjuk Rasulullah yaitu taqabbalallahu minna wa minkum. Yang artinya kurang lebih ‘semoga amal ibadah kita selama bulan Ramadan diterima Allah SWT.’
Kritik pada ucapan permohonan maaf sempat pula beredar. Minta maaf seharusnya, katanya, jangan menunggu Idulfitri. Pada saat menyadari melakukan kesalahan segera minta maaf. “Ntar salahnya bertumpuk. Itupun belum tentu dijamin usia sampai Idulfitri,” tegas yang tak setuju ucapan permohonan maaf pada Idulfitri.
Agaknya permohonan maaf di momentum Idulfitri sudah menjadi budaya masyarakat negeri ini. Mereka yang sudah memahami bahwa sebaiknya berdoa tetap menyertakan maaf. Makin panjang dan lengkap ucapan yang beredar di Idulfitri.
Hal menarik lainnya, ada kecenderungan terkait permohonan maaf ini hampir selalu berjalan sepihak. Lebih unik lagi permohonan maaf dijawab pula dengan permohonan maaf.
Semua memohon maaf tapi hampir tak ditemukan jawaban “memaafkan.” Itu tadi, permohonan maaf bersautan dengan permohonan maaf bukan jawaban memberi maaf.
Apakah permohonan maaf diterima? Wallahu’alam. Mungkin iya atau tidak. Tentu mereka yang memohon maaf berharap dimaafkan dan tak adanya jawaban memaafkan lebih merupakan akhlak untuk tidak menunjukkan bahwa yang memohon maaf memang pernah bersalah. Jadi memaafkannya cukup di dalam hati. Allah maha mengetahui bahasa hati manusia. Jadi tak perlu kecil hati jika belum ada jawaban memaafkan.
Tentang permohonan maaf memilih Idulfitri agaknya lebih karena suasana yang telah menjadi budaya. Bisa jadi jika pernyataan maaf tidak disampaikan di luar Idulfitri terasa berat karena gengsi sehingga perlu memanfaatkan momentum ketika semua orang juga ingin meminta maaf. Katakanlah rasa bersalah dengan memohon maaf bersama-sama tentu lebih mengurangi rasa gengsi.
Pertimbangan memanfaatkan Idulfitri ada yang beralasan karena baru saja menunaikan puasa ramadan. Proses pencerahan ibadah puasa diyakini membuat hati nurani dan pikiran lebih bersih sehingga permohonan maaf dianggap lebih optimal.
Pemanfaatan momentum Idulfitri tahun 2019 ini permohonan maaf lebih kental harapan pemaknaannya. Ini terkait hingar bingar pelaksanaan Pemilu 2019. Sebuah hajatan politik nasional yang harus diakui sempat membuat ummat terbelah karena perbedaan pilihan.
Putus komunikasi, putus silaturrahmi dan bahkan putus ikatan pernikahan sempat terjadi sebagai dampak Pemilu 2019. Saling maki, menyebar ujaran kebencian -demikian pula tanpa disadari- hoaks dan fitnah terjadi selama Pemilu 2019.
Pada konteks inilah permohonan maaf yang mewarnai Idulfitri 2019 terasa urgensinya. Saling meminta maaf diharapkan mencairkan ketegangan, menjalinkan kembali ikatan persaudaraan, pertemanan dan semoga pula merujukkan tali ikatan nikah yang terputus.
Permohonan maaf sebaiknya memang jangan ditunda. Namun permohonan maaf kadang memiliki muatan spesial dan diharapkan memberikan dampak luar biasa yaitu kembalinya ikatan persaudaraan. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.