Oleh: MH. Said Abdullah*
Sebuah cuitan terpapar di jejaring sosial twitter. Isinya pesan moral yang mengingatkan masyarakat agar tidak pernah lelah mengajak kebaikan. “Terus jangan lelah mengajak damai untuk Indonesia kita,” paparnya.
Pesan sebenarnya sederhana dan bersifat umum serta biasa disampaikan hampir semua kalangan yang menyadari tentang nilai penting kedamaian. Menjadi menarik perhatian karena cuitan itu mengomentari postingan lainnya tentang sosok pendukung fanatik Prabowo Subianto Capres nomor urut 02 yang berubah total menjadi pembenci luar biasa.
Pendukung itu disebut fanatik karena sebelumnya sempat membela mati-matian Prabowo Subianto. Yang bersangkutan bahkan berani menyerang habis-habisan penyelenggara Pemilu yaitu KPU. Tentu juga gencar menyerang pasangan lawan nomor urut 02 yaitu Capres Joko Widodo, pasangan nomor urut 01.
Namun, belakangan sang pendukung fanatik berbalik menyerang Prabowo. Ini terjadi setelah pertemuan Jokowi dengan Prabowo di MRT, Jakarta (13/7/2019). Sebuah pertemuan yang dimanfaatkan Prabowo untuk mengucapkan selamat kepada Joko Widodo.
Segala hal yang sebelumnya dipuja-puja berubah total menjadi sumpah serapah yang sebagian terlihat sangat sarkastis. Dalam cuitan berjudul Balada Penipu yang bernama Prabowo, sosok itu berkomentar pedas. “Saat berkampanye, aku sempat terharu, mataku berkaca-kaca ketika kau memeluk seorang nenek tua yang begitu percaya kepadamu untuk memimpin negeri ini. Tapi begitu melihat foto ini -foto Jokowi duduk bersama Prabowo dengan senyum ceria- rasanya harga maskaraku bahkan terlalu mahal hingga aku tak akan menangis untukmu!” paparnya, bernada ketus.
Yang layak mendapat perhatian lebih serius cuitan sejenis dari para pendukung Prabowo relatif banyak. Tak hanya di twitter. Di media sosial lainpun seperti facebook, istagram komentar berbalik arah dari nuansa cinta menjadi benci juga bertebaran. Sebagaimana serangan kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, kepada Prabowopun, mereka yang sebelumnya memuja habis-habisan, sangat kasar dan jauh dari keadaban. Kalimat penghianat, penipu dan masih banyak kata sarkastis lain seakan menjadi santapan baru para ‘mantan’ pendukung dan pemuja Prabowo itu.
Dari paparan selintas perkembangan media sosial pasca pertemuan MRT itulah terasa urgensi dari pesan ‘Terus jangan lelah mengajak damai untuk Indonesia kita.’ Bahwa memang ajakan moral, pikiran serta perilaku mewujudkan kedamaian negeri ini jangan sedetikpun berhenti. Selalu semua komponen bangsa Indonesia perlu terus menerus menjaga, merawat serta mengajak siapapun yang mencoba menebarkan riak-riak kecil maupun gelombang besar agar menyadari nilai penting kedamaian.
Perubahan pujian menjadi kebencian luar biasa yang belakangan menjadi cobaan bagi Prabowo Subianto sesungguhnya menggambarkan betapa mudah masyarakat negeri ini tergoda dan terperangkap pikiran dan sikap emosional. Fakta dan data memperlihatkan ternyata kalimat-kalimat kasar jauh dari keadaban sebagai bangsa Indonesia bisa dengan mudah menyasar bukan hanya kepada lawan politik. Kekecewaan kepada kawan politik, sosok yang sebelumnya didukung bisa dengan mudah tumpah ruah.
Fenomena ini perlu dicermati terutama oleh para elite pemimpin agar berupaya mencari solusi menyuntikan rasionalitas politik agar masyarakat negeri ini makin dewasa berpartisipasi dalam proses politik. Semua pihak juga perlu menyadari dan memahami bahwa ‘bibit-bibit amarah’ masih bertebaran di tengah masyarakat. Perlu ada kometmen seluruh elite pimpinan dari semua tingkatan agar berhati-hati serta bersikap arif ketika menjadi bagian dari proses politik.
Narasi bernuansa kebencian, lontaran-lontaran pernyataan penuh kontroversi yang memancing emosi, perlu dihindari seoptimal mungkin. Perlu pula dibangun kometmen bersama untuk memerangi hoax dan fitnah yang dapat menjadi amunisi timbulnya amarah masyarakat. Pilpres 2019 lalu, perlu menjadi pelajaran berharga agar ketegangan dan keterbelahan masyarakat negeri ini tidak terulang kembali. [*]
*Wakil Ketua Banggar DPR RI