Oleh: Miqdad Husein*
Mencapai kehidupan demokrasi sehat dalam satu negara memerlukan waktu panjang. Negara kampiun demokrasi Amerika Serikat memerlukan waktu lebih dari 200 tahun untuk sampai pada kondisi seperti sekarang. Itupun di era modern Amerika Serikat pernah tersandung riak-riak tindak kekerasan massa.
Saat Pilpres terakhir sempat terjadi ketegangan relatif menyita perhatian dunia. Pasca kemenangan Donald Trump, berbagai riak-riak politik seperti demonstrasi, pengrusakan sempat terjadi sebagai ekspresi ketakpuasan dan kekecewaan pada hasil Pilpres.
Secara faktual ketegangan politik di Amerika Serikat di era modern tak lepas dari berbagai narasi kontroversial Donald Trump. Misalnya, narasi rasis sentimen anti masyarakat muslim dan berbagai retorika provokatif lainnya.
Akrobat Trump itu terhadap pendukungnya membangkitkan emosi dan fanatisme. Terhadap masyarakat yang tidak mendukung sempat mengusik kekhwatiran dan kekecewaan karena dianggap tidak sejalan prinsip demokrasi dan kebebasan Amerika Serikat.
Dari kasus Amerika Serikat yang sudah matang berdemokrasi ternyata masih saja terpeleset. Pemicunya sangat jelas disebabkan syahwat kekuasaan elit politik berlebihan yang tergoda menggunakan segala cara termasuk yang bertolak belakang dengan demokrasi.
Pilpres di negeri ini tak pelak sempat mengalami ketegangan cukup keras. Bahkan menelan korban nyawa rakyat tak berdosa. Dan seperti di Amerika Serikat, ketegangan politik tak lepas dari retorika elit yang membangkitkan keterbelahan dan ketegangan rakyat negeri ini.
Elite politik terlihat memang menjadi pihak paling menentukan bagaimana perjalanan demokrasi di sebuah negara. Apakah akan dibiarkan mengalami dinamika sehat atau perlu dibumbui berbagai ketegangan bahkan konflik. Pilihan sangat terbuka, tergantung sepenuhnya dari itikad para elite politik; termasuk pula pimpinan nonformal seperti tokoh agama, adat dan lainnya.
Pertemuan pasca keputusan Mahkamah Konstitusi antara Jokowi dan Prabowo, serta Megawati dan Prabowo merupakan salah satu upaya proses pendewasaan pemikiran serta sikap politik masyarakat. Bahwa perbedaan politik bukanlah jurang menganga yang tak bisa disatukan. Perbedaan politik hanya satu pemikiran dan sikap tentang satu proses, yang sangat mungkin pula dalam proses lain bisa sama. Perbedaan bukanlah harga mati yang harus dihiasi amarah dan kebencian serta permusuhan.
Pilkada tahun 2018 memberi contoh menarik relasi PDIP dengan PKS. Apakah dua partai ini sama sekali tak dapat berkoalisi? Ternyata tidak juga. Pada Pilkada tahun itu paling tidak, ada 33 daerah PDIP dan PKS berkoalisi, yang memberi penegasan betapa lalu lintas politik tidak hitam putih.
Apa anehnya pertemuan Ketua Umum PDIP Megawati dan Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo yang berbeda sikap politik pada Pilpres 2019 jika menelusuri jejak politik keduanya. Bukankah pada Pilpres 2009 keduanya berpasangan saat menghadapi Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Budiono.
Pemahaman betapa relasi politik selalu mungkin berobah, sekali waktu berkoalisi, lain masa bersaing, perlu terus dikembangkan agar masyarakat negeri ini makin rasional sehingga tidak menganggap perbedaan pilihan menjadi ketegangan apalagi konflik. Pendukung Jokowi dan Prabowo tak perlu harus saling menebar amarah dan berdarah-darah karena keduanya hanya lawan dan bukan musuh dari sebuah konstestasi. Tak perlu simpatisan PDIP dan Gerindra hanya karena beda dukungan Capres lalu saling memaki. Bukankah keduanya pernah bahu membahu di tahun 2009.
Dengan tetap konsisten mencerdaskan pemikiran dan sikap politik masyarakat bahwa memang ada konstestasi, relasi antar elite politik bersemangat persatuan dan kesatuan demi pembangunan bangsa harus terus dijaga. Masyarakat perlu terus ditingkatkan pemahamannya bahwa perbedaan perspektif dan sikap politik bukan harga mati. Selalu terbuka peluang bekerja sama, seperti juga kemungkinan saling bersaing.
Tentu yang terpenting dari semuanya adalah itikad seluruh elite politik dan para pemimpin nonformal untuk tidak mengungkit amarah rakyat dan menciptakan permusuhan atas dasar perbedaan. Jika itu terjadi, sangat tidak mudah mengembalikan kesatuan masyarakat yang telah terbelah. Dan bukan hal aneh, karena angin yang ditebar justru menjadi badai caci maki dari rakyat, yang sebelumnya membelanya. Itulah buah politik emosional dari benih berbagai narasi amarah dan kebencian. [*]
*Kolumnis tinggal di Jakarta.