Oleh: MH. Said Abdullah*
Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang telah berakhir. Presiden Jokowi dan para menteri hadir dalam pertemuan yang pertama kali dibentuk di Berlin, Jerman pada tahun 1999 itu.
Banyak agenda penting menyangkut kepentingan Indonesia dibahas dalam pertemuan yang berlangsung selama dua hari itu. Namun, sayangnya perhatian masyarakat terlihat justru lebih mengarah pada persoalan elementer yang mengesankan pemikiran dan persepsi yang kurang memberikan apresiasi kepada Presiden Jokowi dan para menteri.
Yang ramai dibicarakan misalnya tentang kemampuan bahasa Inggris Presiden Jokowi dan pidato beliau yang diisukan hanya berlangsung satu menit. Dua hal ini sempat menjadi viral di media sosial. Sebuah gambaran betapa aroma persaingan Pilpres 2019 masih terasa sehingga yang merasa sebagai pendukung berbeda memandang apapun yang dilakukan Jokowi secara sinis.
Sebenarnya sangat ironis, terutama terkait sorotan pada kemampuan berbahasa Inggris Presiden Jokowi. Padahal, Perdana Mentri Jepang, Kanselir Jerman, Presiden Prancis, Perdana Menteri China dan masih banyak pimpinan negara lainnya, berpidato menggunakan bahasa negaranya: bukan bahasa Inggris.
Atau bandingkan misalnya dengan Presiden Soeharto yang dimanapun selalu membawa penterjemah baik di dalam negeri maupun di luar. Namun, belum pernah ada pembicaraan apalagi pandangan sinis pada kemampuan bahasa Inggris Presiden Soeharto. Persepsi dan perspektif kebencian atas dasar ketaksiapan bersikap legawa menerima hasil Pilpres agaknya masih menghinggapi sebagian masyarakat negeri ini sehingga Presiden Jokowi selalu dipandang dari perspektif negatif.
Jika dicermati dan dikaji lebih sungguh-sungguh betapa banyak kepentingan Indonesia, yang diperjuangkan oleh Presiden Jokowi. Di tengah-tengah perhelatan Pemilu 2019 yang menyita energi Presiden Jokowi tetap bekerja keras memperjuangan kepentingan nasional dalam forum KTT G20. Paling tidak ada lima hal yang dibahas Presiden Jokowi bersama pimpinan negara lain dalam forum KTT G20 tersebut.
Lima hal mendasar itu pertama soal Digital Media Accelerator Hub (IDEA Hub) yaitu kurasi dan pengelolaan berbagai hal tentang model bisnis digital dari para unicorn anggota G20. Ini sangat jelas terkait dinamika bisnis yang belakangan mengalami perobahan luar biasa, yang terjadi di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.
Kedua, tentang pembangunan di Arab Saudi. Soal kedua ini menyangkut hubungan bilateral pemerintah Indonesia dan Arab Saudi. Dalam pertemuan dengan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran Mohammad bin Salman Presiden Jokowi menyampaikan beberapa hal terkait dukungan Indonesia kepada Arab Saudi. Disinggung dalam pertemuan itu keinginan Indonesia berpartisipasi dalam revelusi ekonomi sejalan visi Saudi 2030.
Presiden dalam pertemuan bilateral itu meyakinkan Arab Saudi tentang BUMN Indonesia yaitu Wijaya Karya dan Waskita, yang memiliki pengalaman di bidang konstruksi dan properti. Aktivitas dua BUMN itu sudah berlangsung baik dan kini memiliki kantor perwakilan di Arab Saudi.
Ketiga, kerja sama ekonomi dan maritim dengan India. Soal ini menjadi pokok-pokok pembicaraan saat Presiden Jokowi bertemu Perdana Menteri India, Narendra Modi. Jokowi mengajak India untuk terus mendorong pencapain target perdagangan 50 milyar dollar AS di tahun 2015.
Keempat, kerja sama indutri strategis dan investasi dengan Korea Selatan. Agenda itu dibicarakan saat pertemuan bilateral dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in. Pembicaraan itu menindaklanjuti kunjungan Presiden Jokowi ke Seoul, September lalu.
Persoalan kelima terkait pembicaraan defisit dagang dengan Cina. Dalam pertemuan dengan Presiden RRC Xi Jinping, Presiden Jokowi membahas upaya mengurangi defisit perdagangan antara Indonesia dan China. Dua pimpinan itu membahas juga impor China terhadap CPO Indonesia tahun lalu, yang sudah melampaui 1 juta ton.
Sayang sekali, persoalan besar yang memerlukan dukungan dan kajian serius justru kurang mendapat perhatian. Sebagian besar, masyarakat masih terperangkap moment Pilpres 2019 yang sebenarnya sudah selesai.
Presiden Jokowi pada periode kedua agaknya perlu lebih menekankan lagi prioritas revolusi mental dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Masih sangat terasa kelemahan masyarakat negeri ini dalam mengembangkan keseimbangan emosi, intelektualitas dan etos kerja. Sebuah pekerjaan luar biasa berat yang memerlukan kerja keras seluruh rakyat negeri ini. [*]
*Wakil Ketua Banggar DPR RI.