PAMEKASAN, koranmadura.com – DPRD Pamekasan, Madura, Jawa Timur, pernah menggagas Peraturan Daerah (Perda) Poligami. Tujuannya untuk mengakomodasi nasib perempuan asal Pamekasan.
Wacana Perda Poligami yang digulirkan sejak tiga tahun lalu tersebut sempat menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Tak terkecuali kaum hawa yang sudah bersuami, tak rela suami mereka dimadu.
Kendati terjadi pro-kontra, inisiator Perda Poligami Apik, yang saat itu Ketua Komisi IV DPRD Pamekasan, ngotot ingin meloloskan Perda yang diklaim dapat dukungan dari sejumlah ulama.
Selain alasan mengakomodasi perempuan, gagasan Perda Poligami itu muncul setelah banyaknya laporan warga tentang status anak dari istri kedua yang akad nikahnya dilakukan melalui proses nikah siri.
Menurut Apik kala itu, anak dari hasil pernikahan siri jelas tidak diakui di mata hukum, sehingga ia menilai jika Perda Poligami ini disetujui, maka status anak tersebut jelas dan dapat perlindungan hukum yang sama.
Saat ini, Perda Poligami yang digagas politikus NasDem tersebut tak ada kabar kelanjutan sekalipun sudah masuk ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapem Perda) DPRD Pamekasan.
Populasi Janda di Pamekasan
Pengadilan Agama (PA) Pamekasan, telah memutus 900 kasus perceraian. Itu artinya terdapat 900 janda dan duda baru di Pamekasan. Angaka ini terhitung dari bulan Januari hingga Juli 2019.
Populasi janda baru di Pamekasan dipredeksi meningkat. Menurut Wakil PA Pamekasan, angka perceraian di Pamekasan rata-rata tembus 1.500 setiap tahun. Penyeban terjadinya perceraian bervareatif.
Khusus tahun ini, faktor perceraian itu didominasi suami yang kurang bertanggung jawab serta persolan moral suami.
“Selama tujuh bulan ini sudah ada 900 kasus gugatan perceraian, kalau dikalkulasi tiap tahun bisa mencapai 1.500 kasua perceraian,” kata Imam Faruk, Jumat, 26 Juli 2019.
Usia perkawinan pasangan suami istri yang memilih cerai rata-rata 5 sampai 7 tahun, kebanyak usia dari mereka masih muda.(RIDWAN/ROS/VEM)