By : Miqdad Husein
Pada setiap agama selalu ada sebutan kepada mereka yang berada di luar lingkaran ikatan. Sebutan itu bisa sangat tajam sehingga terasa menyakitkan bila terucapkan. Kadang ada nuansa agak merendahkan atau menghina. Demikianlah anatomi pada hampir semua agama.
Selain kepada yang berada ‘di luar’ ada pula sebutan kepada mereka yang berbeda pemahaman, dalam internal agama. Bid’ah salah satu kata yang paling populer dilekatkan kepada mereka yang dianggap berbeda pemahaman.
Muatan dan konsekwensi tudingan bid’ah berbeda-beda pada masing-masing agama. Ada yang memiliki konsekwensi hukum fisik, atau sekedar berupa tudingan, pengucilan dan masih banyak varian lainnya.
Berbagai sebutan itu baik kepada pihak luar maupun orang dalam yang sekedar berbeda pemahaman jika disampaikan di internal masing-masing agama tidak ada masalah. Katakanlah sebagai penjelas identitas. Atau misalnya diuraikan dalam kajian terbatas tak akan ada dampak sosial berarti.
Berbeda bila berbagai pernyataan penguat keterikatan keagamaan itu disampaikan di ruang terbuka. Sudah tentu akan menimbulkan kegaduhan. Apalagi jika melebar menjadi saling berbalas sebutan tajam.
Organisasi Nahdlatul Ulama pernah mengusulkan agar penyebutan kafir diganti non-muslim. Tujuannya simple saja agar tak terjadi ketegangan sosial dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebenarnya usulan NU bukan hal luar biasa dan lebih sekedar penegasan saja. Sebab dalam keseharian masyarakat negeri ini, pada pertemuan formal misalnya ketika tokoh agama diminta memimpin doa sudah menggunakan seperti yang diusulkan NU.
Apa pernah seorang ulama ketika memimpin doa di acara formal heterogen mengucapkan kata pembuka “Saya akan berdoa secara Islam, kepada yang kafir silahkan berdoa sesuai keyakinannya.”
Yang selalu ditemui ucapan, “Saya akan berdoa secara Islam. Kepada hadirin yang non-muslim dipersilahkan mengikuti sesuai keyakinannya.”
Yang lebih halus lagi, “Saya akan berdoa secara Islam. Yang berbeda keyakinan, saya mempersilahkan berdoa sesuai keyakinannya.”
Begitulah akhlaq sosial ketika berada dalam lingkungan keanekaragaman keagamaan. Yang dikedepankan kalimat arif, kesantunan komunikasi. Lantas apakah itu akan merontokkan aqidah? Lebay banget ya.
Jika kesantunan komunikasi saja terasa urgensinya dalam sebuah masyarakat majemuk apalagi terkait sikap menghindari mencaci maki kepada penganut agama lain. Bukan tanpa alasan Allah melarang ummat Islam mencaci maki sesembahan penganut agama lain sebagaimana tercantum dalam Quran surat Al An’am ayat 108. Bukan hanya akan muncul sikap serupa tetapi juga akan terjadi kegaduhan.
Allah Maha Mengetahui bahwa selalu ada persepsi dan perspektif berbeda dari setiap pemeluk agama kepada pemeluk agama lainnya. Karena itu ada rambu agar jangan sekali-kali menyinggung tata cara beragama orang lain.
Ini bukan persoalan benar dan salah. Karena kebenaran beragama sangat ditentukan keyakinan, pemikiran penganut agama masing-masing. Kebenaran keyakinan seorang muslim pasti berbeda dengan keyakinan penganut agama lain. Demikian pula ekspresi keyakinannya.
Tidak salah meyakini agama yang dianut sebagai paling benar. Yang perlu dihindari adalah mempersoalkan apalagi mencaci maki keyakinan kebenaran penganut agama lain.
Jelas kan ini menyangkut kesantunan dalam berkomunikasi di tengah masyarakat yang plural. Bukan soal benar atau salah dalam meyakini agama yang dianut.