*Oleh: MH Said Abdullah
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah yang dikuatkan keputusan pengadilan seharusnya membuka wawasan berpikir para pengikutnya. Termasuk pula mereka yang bersimpati dan tergoda menjadi bagian dari HTI.
Melalui proses pengadilan serta pemberitaan masyarakat diharapkan tergoda membaca apa dan bagaimana sesungguhnya HTI. Keputusan pemerintah itu selayaknya membuka mata masyarakat mengetahui seluruh ajaran HTI.
Yang paling menarik misalnya, yang belakangan makin terungkap ke permukaan melalui proses pemberitaan adalah data dan fakta HTI ternyata dilarang di lebih dari 20 negara. Sebagian besar negara itu yang mengejutkan merupakan negara-negara berlabel Islam atau sekurangnya mayoritas penduduknya beragama Islam.
Apa dasar pijakan pelarangan HTI di banyak negara itu? Hampir sama yaitu jejak buram HTI sebagai kekuatan politik yang selalu menikam dari belakang, melakukan pemberontakan dan atau kudeta.
Sepanjang sejarah keberadaan HTI di berbagai negara memang praktis berlumur darah dan air mata. Sebab HTI selalu menolak dan tidak mengakui sistem dalam satu negara. Seluruh sistem di negara di mana HTI berada ditentang dan harus diganti sistem khilafah.
Jadi anatomi keberadaan HTI di manapun riil bertolak belakang dengan sistem dalam satu negara. Jika dalam perkembangan HTI berada dalam satu negara serta terkesan mengakui sistem di negara itu, sepenuhnya merupakan strategi semata. Biasanya strategi tiarap dilakukan ketika HTI masih lemah. Setelah mereka kuat baru memperlihatkan wajah aslinya memberontak untuk diganti dengan sistem khilafah.
Jadi sulit dipercaya jika ada retorika bahwa HTI menerima Pancasila dan NKRI. Jejak keberadaan HTI selalu melawan seluruh sistem yang bukan khilafah yang menjadi misi utamanya. Ironisnya di era modern sekarang ini praktis tak ada satupun negara yang menggunakan sistem khilafah.
Dari sisi ini sebenarnya -lagi-lagi- masyarakat Indonesia yang terpesona fatamorgana khilafah berkenan membuka diri, mengkaji. Bahwa ternyata di era modern ini tak ada negara yang tertarik sistem khilafah.
Apa dasar logika penolakan itu? Sangat sederhana: kekentalan irrasionalalitas sistem khilafah.
Yang paling kasat mata dalam sistem pemilihan. HTI tak punya konsepsi riil bagaimana memilih Khalifah. Ditunjuk? Lha siapa yang menunjuk? Katakanlah dibentuk Tim. Lalu, siapa yang memilih Tim itu? Tak jelas bagaimana prosesnya.
Itu baru dalam lingkup satu negara. Apalagi jika sejalan konsepsi khilafah dalam lingkup seluruh dunia. Makin jauh dari rasional. Untuk perbandingan di era sekarang saja negara besar seperti Uni Soviet, Yugoslavia terpecah belah. Apa masuk akal menyatukan seluruh negara Islam dalam satu kesatuan khilafah. OKI saja yang memayungi hubungan antar negara Islam tak selalu sama untuk hal-hal menyangkut kesepakatan satu masalah. Belum masalah keseluruhan negara.
Sistem demokrasi yang dipakai sebagian besar negara di dunia ini memang belum sempurna. Ada prasyarat yang harus dipenuhi seperti kualitas pendidikan, kesejahteraan ekonomi dan lainnya. Dan prosesnya memang perlu waktu.
Namun yang terpenting dalam sistem yang memang belum sempurna itu ada kejelasan, ada varian mekanisme yang rasional serta seluruh rakyat mendapat kesempatan sama mengekspresikan pemikiran dan sikap politiknya. Masyarakat dapat pula menjadi bagian sebagai pemeran maupun pengawas.
Mengapa tidak berusaha memperbaiki sistem yang sudah relatif baik. Mengapa berpikir tentang sistem khilafah yang jauh dari rasional, yang dalam mimpipun sulit diwujudkan. Demikianlah. [*]
*Wakil Ketua Banggar DPR R