Oleh : Miqdad Husein
Kembali ummat di seluruh dunia melaksanakan ritual haji. Dua hari lalu ummat Islam berkumpul wukuf di Padang Arafah, sebagai puncak peribadatan haji. Ummat Islam Indonesia seperti tahun-tahun sebelumnya menjadi kontingen terbesar yang menunaikan Ibadah haji.
Yang layak mendapat perhatian seperti tahun sebelumnya selalu ibadah haji masih sebatas ritual ubudiyah. Paling tidak itu yang terjadi pada jamaah haji dari Indonesia. Seakan haji hanya dzikir dalam alunan talbiyah serta mengejar pahala sebesar-besarnya dengan rajin sholat di Masjidil Haram dan tempat yang dianggap mustajab lainnya.
Jika dikaji lebih jauh sebenarnya secara normatifpun ibadah haji jauh lebih luas dari sekedar ubudiyah dzikir. Pada ujung ayat 28 surat Al Hajj sangat tegas Allah berfirman agar ummat Islam mengambil dan mendapat maaf dari pelaksanaan haji.
Yang layak pula mendapat perhatian Nabi Muhammad memberi contoh riil pelaksanaan ayat 28 surat Al Hajj. Saat menyampaikan khotbah haji Wada’ dalam ‘rapat terbesar ummat Islam saat itu’ Nabi Muhammad praktis tidak membicarakan soal ubudiyah. Hampir seluruh materi khotbah mengingatkan berbagai persoalan sosial mendasar seperti masalah HAM, kesetaraan manusia, larangan eksploitasi ekonomi dan persoalan besar lainnya.
Dengan mencermati totalitas ibadah haji baik mengacu Al Quran dan contoh Nabi Muhammad seharusnya selalu ada dampak besar dari pelaksanaan haji. Apalagi bagi masyarakat Indonesia haji merupakan kegiatan peribadatan yang high cost, menyedot biaya cukup besar. Sekitar 95 persen biaya haji menggunakan dollar.
Cost tinggi secara logika sehat selayaknya menghasilkan output optimal sehingga tidak mubasir. Jamaah haji yang pulang ke tanah air selayaknya memberikan kontribusi moral maupun sosial untuk kepentingan negeri.
Tentu saja manfaat haji sejalan perkembangan waktu harus kontekstual. Di masa penjajahan haji menjadi inspirasi kesadaran nasionalisme dan perlawanan menghadapi penjajah Belanda. Pada era melenial saat ini dari pelaksanaan haji diharapkan paling tidak ada kesadaran pemahaman pluralisme fiqih.
Di tanah suci masyarakat Indonesia dapat melihat secara jelas tentang berbagai warna peribadatan. Dalam sholat misalnya varian-varian gerakan dapat ditemui. Sekalipun bersifat furuiyah atau ranting-ranting tetap penting untuk dipahami masyarakat negeri ini. Apalagi belakangan ini justru muncul kembali perdebatan dan kecenderungan ‘menekankan’ satu sikap dalam peribadatan pada wilayah furu’ tadi. Ada pengerasan kelompok, merasa paling benar sendiri.
Sikap otoritarian fiqih furu’ ini bisa merembes pada wilayah lain seperti politik. Nah ketika masuk wilayah politik pengerasan kelompok jelas berbahaya. Mudah sekali menciptakan keterbelahan atau perpecahan ummat sebagaimana terjadi pada Pilpres 2019 lalu.
Ijma’ ulama I, II, III dan seterusnya adalah contoh nyata pengkondisian masyarakat dalam satu pilihan politik menggunakan agama. Padahal fiqih saja untuk hal-hal yang furu’ sangat kaya perbedaan dan selalu mengikuti perkembangan.
Cara pandang dan kesadaran serta nantinya kedewasaan memandang perbedaan itulah diharapkan menjadi ole-ole para jamaah haji. Sebuah sikap dan perilaku hidup yang lebih membuka ruang terwujudnya kedamaian di negeri ini.
Insya Allah jika memahami bahwa persepsi, perspektif beragama bisa saja beda akan lebih mudah melalui perbedaan kehidupan seperti perbedaan pilihan politik dan lain. Semoga saja.