SUMENEP, koranmadura.com – Dampak kekeringan pada musim kemarau tahun ini mulai dirasakan di sejumlah desa di wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Berdasarkan data di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumenep, setidaknya sudah ada 24 desa mengajukan permohonan bantuan air bersih. Sebagian sudah disuplai. Sebagian lainnya belum.
Prakiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kali ini sudah puncak musim kemarau. Sementara prakiraan berkaitan dengan masa peraliham musim dari kemarau ke penghujan belum ada rilis resmi.
Di puncak musim kemarau, masyarakat diimbau agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi mengakibatkan hal buruk. Misalnya membakar sesuatu yang bisa memicu terjadinya kebakaran.
“Kalau puncak musim kemarau Juli-Agustus. Tapi untuk peralihan musim dari kemarau ke penghujan belum ada rilis resmi. Nanti kalau sudah ada, akan kami informasikan,” ujar Kepala BMKG Kalianget, Usman Khalid, Jumat, 9 Agustus 2019.
Namun demikian, sambungnya, jika berkaca kepada tahun-tahun sebelumnya, khusus di Sumenep masa peralihan musim dari kemarau ke penghujan biasanya terjadi di kisaran Oktober.
Berkaitan dengan hal ini, Kepala BPBD Sumenep, Abd. Rahman Riadi berharap musim kemarau tahun ini tidak lebih lama dari tahun lalu. Jika lebih lama, ada kemungkinan daerah terdampak kekeringan akan lebih luas dari yang telah dipetakan.
Dalam peta rawan bencana kekeringan, di kabupaten paling timur Pulau Madura ini sedikitnya ada 30 desa yang tersebar di 10 kecamatan berpotensi terdampak.
Dari 30 desa itu, 11 desa di antranya masuk kategori kering kritis karena jarak sumber air dengan masyarakat sebagai pengguna mencapai 3 kilo meter atau lebih. Sementara sisanya masuk kering langka.
Suatu daerah disebut kering langka jika jarak sumber air dengan masyarakat berada di kisaran 500 meter hingga 3 kilo. Jika di bawah itu, antara 100 sampai 500 meter, disebut kering terbatas. (FATHOL ALIF/SOE/DIK)