Oleh : Miqdad Husein
Kegaduhan tentang ceramah Ustad Abdul Somad (UAS) dan pernyataan Prof. Dr. Mahfud MD memberi gambaran tentang betapa tak siap masyarakat negeri ini dengan era media sosial. Kasus Mahfud bahkan tergolong parah karena konten yang jauh dari fakta justru diberitakan oleh media resmi.
Mahfud sebagaimana bantahannya sama sekali tidak menyebut tentang ulama. Ia dalam pernyataannya menyebut eksodus kelompok radikal ke negeri ini. Namun sebuah media memplintir seakan tokoh Madura menyatakan dan menyebut ulama radikal. Celakanya banyak media termasuk media sosial mengutip pemberitaan yang telah jauh dari konteks.
Dampaknya jelas berbeda. Responpun menjadi tak proporsional. Penyebutan ulama radikal karena sudah terlanjur menyebar menimbulkan antipati. Klarifikasi bahwa beliau tidak pernah menyebut ulama melainkan kelompok radikal kurang diapresiasi. Mereka yang marah dan kecewa sulit diturunkan tensinya karena sudah ‘tersandera’ sebutan ulama.
Di sini terlihat betapa berbahayanya salah kutip di era media sosial sekarang ini. Ralat seakan tak berarti karena telah menyebar di media sosial. Siapa yang bisa mengoreksi media sosial yang jauh dari kendali.
Kasus UAS sepenuhnya atas dasar penyebaran di media sosial. Di sini lebih memperlihatkan ketaksiapan menghadapi media sosial.
UAS pengakuannya berbicara tertutup di sebuah masjid. Apa iya masjid bisa diset tertutup. Bukankah masjid merupakan tempat sangat terbuka hingga siapapun bisa dengan mudah untuk masuk. Pencuri sandal saja bisa seenaknya masuk apalagi mereka yang memiliki tujuan tertentu.
Jangan lupa UAS bicara dihadapan jamaah bersifat umum. Bukan hal luar biasa jika ada yang berniat khusus di luar untuk mendengarkan pengajian.
Nah bicara dalam tempat terbuka di era media sosial seperti sekarang ini perlu hati-hati. Jangankan di tempat terbuka seperti Masjid, di ruang rapat terbatas pun selalu ada orang-orang usil.
Masih ingat kasus Ahok? Pernyataan yang dianggap penistaan agama itu berlangsung di ruang tertutup dan terbatas. Tetapi ada saja yang.kemudian membawa ke ruang publik.
Para elite, tokoh masyarakat perlu menyadari dan memahami bicara apa, kepada siapa, di mana serta bagaimana. Sebuah pernyataan bernuansa kajian serius tentu tak layak disampaikan di ruang pendengar yang heterogen. Potensi salah pengertian sangat terbuka. Apalagi berlangsung di ruang terbuka yang siapapun bisa merekam. Lebih celaka lagi ketika rekaman tidak utuh sehingga salah tafsir sangat mungkin terjadi.
Masyarakat sendiri perlu diajak memahami bagaimana menyikapi informasi. Jangan sampai apapun yang diterima dianggap kebenaran lalu disebar tanpa tabayyun terlebih dahulu.
Elite perlu hati-hati, masyarakat perlu diajak menyaring sebelum sharing. Itu jika tak ingin kegaduhan menjadi menu keseharian.