Oleh: MH. Said Abdullah*
Disaat ummat Islam seluruh penjuru dunia sedang bersiap-siap melaksanakan prosesi ibadah haji dan Idul Adha seorang ulama kharismatik KH. Maimun Zubair menghadap Sang Pencipta. Ulama yang dikenal sangat bersahaja itu menghembuskan nafas terakhir di tanah suci Mekkah.
Sebelumnya beberapa media sempat memberitakan aktivitas beliau ketika mencium Hajar Aswad. Tak berapa lama kemudian kabar duka tersebar ke Indonesia.
Usia beliau yang cukup uzur, 90 tahun sebenarnya menebar kemafhuman kepada rakyat negeri ini terutama warga Nahdiyin. Namun karena durasi waktu teramat pendek antara aktivitas peribadatan beliau dengan kepergiannya menghadap Allah tetap saja mengejutkan. Sempat muncul keraguan terutama karena belum terlalu lama pemberitaan aktivitas ibadah beliau di Mekkah tersebar di tengah masyarakat.
Kepergian ulama kelahiran Rembang, Jawa Tengah 28 Oktober 1928 itu merupakan kehilangan luar biasa, tak hanya bagi warga Nahdliyyin dan umat Islam. Masyarakat dan tokoh agama lain merasakan hal serupa.
KH. Maimun Zubair sekalipun secara formal dalam pentas politik merupakan Ketua Majelis Syariah PPP namun sulit mengingkari kiprah beliau dalam memberi warna politik negeri ini. Masyarakat sangat mengetahui betapa sosok politisi ulama itu dalam kiprahnya di tengah masyarakat lebih mengekpresikan kearifan dan kesejukan serta kedamaian. Jauh dari nuansa politik lazimnya yang mudah terperangkap atmosfir panas dan pertentangan.
Jika mencermati seluruh perjalanan politisi ulama yang lebih sibuk mengurus pesantren itu, tidak pernah ditemukan lontaran narasi pedas apalagi bernuansa konflik. Tidak heran jika beliau lebih terlihat sebagai intelektual yang berwajah damai. Baju politik hanya terlihat dalam lintasan formal aktivitas kepartaian.
Mbah Moen, panggilan akrabnya, walau sempat menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang dan anggota MPR agaknya lebih merasa sebagai ulama dalam arti sebenarnya. Seorang yang memiliki keilmuan dan mengajarkan serta menyebarkan kepada masyarakat luas. Posisi di pentas politikpun dalam beberapa dekade belakangan ini lebih sebagai sebuah kiprah moral.
Ia seperti ingin memposisikan diri sebagai pengawal moral dunia politik terutama terhadap kiai dan tokoh-tokoh agama Islam yang terjun di dunia politik. Ia memang seperti selalu hadir menjadi embun sejuk yang mendinginkan atmosfer panas dunia politik.
Ketika Pilpres 2019 beberapa waktu lalu banyak politisi memakai baju ulama menebar narasi panas, Mbah Moen melakukan sebaliknya. Ia memercikkan kesejukan melalui kehangatan dalam menerima para Capres Cawapres. Pilihan dan sikap politiknya yang sangat santun dan penuh kearifan menebarkan kesejukan sehingga menurunkan tensi panas politik.
KH. Maimun Zubair sedikit dari politisi ulama yang harus diakui memberi pembelajaran moral bagaimana berpolitik berakhlak karimah. Perbedaan pilihan jauh dari memunculkan jarak apalagi ketegangan dan konflik. Berpolitik sepenuhnya sebagai fastabiqul khairat, untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Selamat jalan KH. Maimun Zubair. Rakyat negeri ini akan terus berupaya mewujudkan perilaku politik yang menebarkan aroma persaudaraan dan kedamaian sebagaimana yang Mbah Moen contohkan. [*]
*Wakil Ketua Banggar DPR RI