SUMENEP, koranmadura.com – Sejumlah warga mendatangi Kantor Pemerintah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, Senin, 19 Agustus 2019.
Kedatangan mereka dalam rangka memprotes Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 39 tahun 2019 atas perubahan Perbup 27 tahun 2019 tentang Pedoman Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kades, khususnya di Pasal 35 ayat 3 yang mengatur tentang scoring bagi calon kepala desa yang jumlahnya di atas lima orang.
Versi mereka, penerapan scoring dinilai tidak adil dan cenderung menguntungkan incumbent. Pendatang baru bisa dikebiri lewat kebijakan itu.
“Munculnya Perbup dengan sistem poin itu sangat merugikan. Secara logika saja ini salah,” kata Kurniadi, dari Yatasan Lembaga Bantuan Hukum Madura (YLBH).
Saat di Kantor Pemkab Sumenep, mereka yang mengaku dari 27 desa ditemui oleh Bagian Hukum dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Sumenep, Moh. Ramli. Mereka menyampaikan aspirasinya dengan cara dialog sehingga suasana forum kondusif.
Kurniadi memgungkapkan, sejak lama Perbup tersebut telah diprotes sebelum disahkan. Tapi sayangnya tetap disahkan. “Ini yang aneh. Sudah diprotes, tapi kenapa masih diundangkan. Kan lucu. Kok saya jadi gagal paham,” jelasnya.
Karena itu, advokat nyentrik ini meminta Perbup tersebut direvisi. Sehingga lebih akurat dan tidak mengebiri hak warga yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala desa. “Ini siapa yang menyusun? Mengapa kami tidak dilibatkan,” ujarnya.
Selain itu, Perbup tersebut juga mengundang keresahan di tingkat desa. “Di lapangan, sudah ada yang mendatangkan dari luar ikut mencalonkan untuk mendapatkan poin lebih. Sehingga bisa mencekal calon lain,” kata salah satu warga yang ikut dalam hearing tersebut.
Kepala DPMD Sumenep, Moh. Ramli menjelaskan bahwa Perbup tersebut merupakan amanah Permendagri yang harus dilaksanakan. “Ini sudah sesuai dengan peraturan yang ada di atasnya. Kami menjalankan regulasi saja,” ucapnya.
Soal adanya scoring dalam Perbup, menurut dia juga sudah bagian dari Permendagri. Di mana jika lebih dari lima calon memang harus ada seleksi tambahan. “Formulasinya kemudian dengan sistem scoring. Ini merupakan kebijakan daerah sesuai Permendagri,” ujarnya.
Ditanya soal kemungkinan Perbup tersebut direvisi, mantan Kepala Dinsos itu menyatakan bahwa hal tersebut bisa dilakukan. Hanya saja dia tidak menyebutkan kepastian waktunya. “Bisa saja. Soal kapan tidak bisa dipastikan. Tergantung tim, karena Perbup pada dasarnya bukan kitab suci,” pungkasnya. (JUNAIDI/FAT/DIK)