Oleh: MH. Said Abdullah*
Demo mahasiswa beberapa hari lalu berlangsung ricuh. Water Canon, pos polisi dan pintu tol rusak menjadi korban perilaku anarkis para pendemo. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi jika mencermati niatan demo yang disampaikan para tokoh mahasiswa sebelum berlangsung demo.
Sebagaimana dijelaskan Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono pelaksanaan demo dari sejak pagi sekitar jam 08.00 sampai jam 16.00 berlangsung damai. Tidak ada tindakan kekerasan dilakukan para pendemo. Suasana berubah ketika permintaan mahasiswa menghadirkan pimpinan DPR tidak terpenuhi.
Aparat kepolisian sudah mencoba memediasi untuk pertemuan itu. Pimpinan DPR bersedia menerima mahasiswa di Gedung DPR. Namun mahasiswa menuntut kehadiran Pimpinan DPR di tengah massa pendemo, yang sudah tentu karena berbagai pertimbangan tidak dapat dipenuhi.
Dari sini demo mulai memercikkan tindakan kekerasan. Dan tindakan kekerasan makin meningkat ketika waktu sudah mulai merangkak malam. Sebuah kondisi yang sangat potensial demo mahasiswa ditunggangi kepentingan di luar aspirasi mahasiswa.
Sebelum pelaksanaan demo apresiasi diberikan kepada para mahasiswa. Tuntutan mereka yaitu menolak RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Ketenagakerjaan serta pembatalan revisi UU KPK menggambarkan rasionalitas mahasiswa. Mereka tegas menyampaikan tujuan demo sama sekali jauh dari muatan kepentingan politik.
Mahasiswa menyampaikan bahwa demo sepenuhnya menyasar persoalan UU. Tidak ada kaitan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi seperti demo tahun 1998 yang secara tegas bertujuan menjatuhkan Presiden Soeharto.
Kometmen para mahasiswa itu menggambarkan kedewasaan berpikir. Mereka mengetahui dan memahami serta menyadari bahwa proses demokrasi di negeri ini telah berjalan baik dalam Pilpres 2019 dengan terpilihnya Jokowi. Karena itu tak ada alasan untuk menjatuhkan pemerintah hasil pelaksanaan pemilu yang berlangsung demokratis.
Namun niat baik tak selamanya dapat diwujudkan dengan baik. Selalu ada petualang politik yang mencari peluang menyelusup memanfaatkan demo mahasiswa.
Dalam kerumunan massa berjumlah sangat besar potensi penyusupan atau penunggang untuk kepentingan mudah terjadi. Apalagi ketika waktu merangkak malam, gelap menyelimuti sehingga tidak jelas lagi mana mahasiswa dan orang-orang yang ingin mengail di air keruh.
Apa boleh buat kejadian seperti demo 22 Mei 2019 terjadi lagi. Demo mahasiswa yang bersemangat intelektual, murni penyaluran aspirasi, untuk dialog adu gagasan berubah menjadi kerusuhan. Dan seperti disampaikan aparat kepolisian mereka yang membawa bom molotov, yang anarkis sebagian besar ternyata bukan mahasiswa. Bahkan banyak anak-anak remaja serta dari luar kota.
Sebuah pembelajaran terjadi lagi dari kejadian kesekian kali demo yang berakhir kerusuhan. Para pendemo terutama mahasiswa yang berniat baik perlu menyadari bahwa selalu ada pihak yang ingin memanfaatkan menimbulkan kerusuhan. Selalu ada upaya memancing emosi mahasiswa untuk terperangkap tindakan kekerasan yang melabrak rambu hukum.
Karena itu mereka perlu jauh-jauh hari memproteksi diri agar tak mudah menjadi kuda tunggang para petualang yang tak ingin negeri ini damai. Mahasiswa perlu intensif menjalin komunikasi dengan aparat kepolisian sehingga mampu mendeteksi potensi yang memancing kerusuhan.
Penting diperhatikan bahwa sesuai ketentuan UU demo dibatasi sampai jam 18.00. Batas waktu itu sangat krusial dan seharusnya ditaati para mahasiswa. Aparat keamanan harus melarang siapapun yang memaksakan diri melebihi batas waktu yang ditentukan UU.
Sudah berkali-kali kerusuhan dalam demonstrasi terjadi saat kegelapan malam datang sampai dini hari. Ini sangat jelas menegaskan bahwa selalu ada skenario menciptakan rusuh dimulai ketika malam tiba. Mereka, para perusuh sudah pasti memperhitungkan ketika gelap datang merupakan waktu paling tepat melampiaskan kepentingan mereka membuat kerusuhan.
Ketika mata tak bisa lagi saling mengenal mana mahasiswa, oknum di luar mahasiswa, para petualang mulai melaksanakan rencananya. Sayangnya, para mahasiswa yang masih berdarah panas kurang menyadari munculnya penumpang gelap yang ingin mengacaukan negeri ini.
Itikad baik menyampaikan aspirasi terkait UU yang dari awal menjadi tekad para mahasiswa seharusnya dilandasi konsepsi berpikir dan langkah cerdas diolog atau diskusi. Sangat tidak rasional membahas soal UU melalui cara-cara parlemen jalanan.
Dengan belajar dari pengalaman demo yang terbukti memunculkan kerusuhan, ketaatan pada UU menjadi sangat mutlak. Tentu semua dapat terwujud bila ada kesadaran mengedepankan intelektualitas, konsepsi pemikiran, akal cerdas dan bukan otot dengan mata melotot penuh amarah.
*Anggota DPR RI dari Madura