Oleh MH Said Abdullah
Presiden Jokowi secara resmi telah mengusulkan rencana kepindahan ibukota baru dari Jakarta ke Kalimantan Timur. DPR pun merespon dengan berharap pemerintah secepatnya mengajukan RUU tentang kepindahan ibukota.
Secara garis besar Presiden menyampaikan dasar pemikiran kepindahan ibukota antara lain pertimbangan beban Jakarta yang dinilai terlalu berat. Jakarta ke depan akan makin sulit mengatasi kebutuhan menfasilitasi diri sebagai ibukota.
Problem kemacetan, kepadatan penduduk, desain tata kota yang telah terpola menjadi masalah luar biasa sehingga makin meningkatkan kompleksitas Jakarta. Posisi Jakarta yang secara geografis rawan gempa melengkapi pertimbangan perlunya kepindahan ibukota.
Paparan selintas tentang dasar pemikiran kepindahan ibukota itu sepenuhnya realitas obyektif. Sebagai respon strategis bagaimana sebuah negara agar lebih memiliki ibukota sesuai tuntunan perkembangan.
Merupakan hal biasa sebenarnya. Dan banyak negara-negara lain yang mengambil kebijakan sama memindahkan ibukotanya karena berbagai persoalan riil yang terbentang dan sulit teratasi. Jarang sekali kepindahan ibukota berbagai negara karena alasan-alasan politis.
Rencana kepindahan ibukota dari Jakarta ke daerah lain juga bukan hal baru. Satu-satunya hal baru adalah keberanian langkah riil Presiden Jokowi untuk memindahkan ibukota.
Sudah relatif lama rencana kepindahan ibukota menjadi wacana di negeri ini. Berdasarkan dokumen sejarah pada 1950-an Presiden Soekarno sudah mewacanakan rencana kepindahan ibukota. Saat itu Presiden sudah sempat menyebut daerah di Kalimantan Tengah sebagai ibu kota negara.
Presiden Soekarno juga melangkah dengan peletakan batu pertama pembangunan awal Kota Palangkaraya yang secara simbolis diperlihatkan dengan pembangunan tugu peringatan. Tugu Soekarno itu diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 17 April 1957.
Saat itu Presiden pertama RI memang tak berencana secara langsung memindahkan ibu kota, melainkan terlebih dahulu membagi beban Jakarta pada kota Palangkaraya. Namun ternyata perjalanan sejarah belum mentakdirkan kelanjutan kepindahan itu.
Di era Orde Baru Presiden Soeharto sempat mewacanakan kepindahan ibukota. Jika Soekarno dan Jokowi mengarah ke kawasan Kalimantan, Soeharto hanya berencana pindah ke daerah yang hanya beberapa langkah dari Jakarta yaitu ke daerah Jonggol. Sempat tanah di daerah kawasan pinggiran Jakarta itu harganya naik karena spekulan tanah.
Jejak panjang rencana kepindahan ibukota yang terekam sejarah itu sangat jelas. Karena itu mengherankan ketika langkah kongkrit Presiden Jokowi memunculkan berbagai reaksi jauh dari proporsional. Misalnya ketika ada tudingan rencana kepindahan karena Presiden Jokowi kecewa kepada Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Atau juga disebut untuk membalas sakit hati kekalahan Ahok dalam Pilkada.
Spekulasi dikaitkan dengan Pilpres juga muncul. Kepindahan ibukota ke Kalimantan Timur merupakan kesepakatan serta kompensasi Jokowi kepada Prabowo. Kebetulan Prabowo disebut-sebut memiliki HGU kawasan di Kalimantan Timur.
Yang terbaru pernyataan M. Amien Rais yang menyebutkan kepindahan ke Kalimantan Timur atas dasar masukan dari negara Cina. Dengan pindah ke Kalimantan Timur negara Cina akan lebih leluasa menguasai Indonesia.
Dengan mengkaji dan mencermati wacana awal serta tambahan kajian Bappenas, kepindahan ibukota merupakan kebutuhan kondisi obyektif. Presiden Jokowi praktis ‘hanya’ menjadi sosok yang berani melangkah riil. Karena itu aneh ketika kemudian muncul bumbu-bumbu liar.
Ada baiknya mereka yang berspekulasi dalam melihat rencana kepindahan ibukota untuk membuka sejarah. Mengutip kata-kata Bung Karno supaya Jasmerah ‘jangan sekali-kali meninggalkan sejarah’ agar pikiran selalu jernih dan jauh dari buruk sangka.