Oleh: Miqdad Husein
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang saat ini menebar duka di Provinsi Riau dan sebagian kawasan Sumatra dan Kalimantan, bukan hal baru. Karhutla memiliki jejak panjang dari sejak 1997. Berarti sudah sekitar 22 tahun, lebih awal dari moments reformasi.
Yang layak dipertanyakan mengapa musibah Karhutla terulang dan terulang lagi. Seakan negeri ini tak pernah belajar dari kepahitan Karhutlah yang melumpuhkan aktivitas masyarakat. Bahkan sempat pula menelan korban nyawa akibat terkena dampak asap.
Sejak tahun 1997 sampai tahun ini ada jeda tak terjadi Karhutla namun pernah pula sangat parah hingga ditetapkan sebagai bencana nasional dengan status tanggap darurat pada tahun 2014 dan 2015. Tahun 2007, 2008, 2016, 2017 dan 2018 Riau sempat bebas dari musibah asap.
Dua momen bertolak belakang itu sayangnya tidak menjadi pelajaran. Akibatnya duka dan nestapa terulang lagi.
Jokowi ketika awal menjabat pada Oktober 2014 memang dihadapkan problem Karhutla. Berbagai upaya keras dilakukan sehingga tiga tahun di masa jabatannya tahun 2016, 2017 dan 2018 tak ada problem asap.
Diakhir periode, di tahun ini terjadi lagi problem asap. Semua terjadi diduga kuat karena Permen LHK Nomor 10 tahun 2019. Menurut Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Okto Yugo Permen itu membolehkan lahan gambut kembali untuk dibangun HTI atau perkebunan sawit. Akibatnya upaya merestorasi gambut buyar lagi sehingga kebakaran hutan dan lahan terjadi lagi.
Dalam rentang waktu 1997 sampai 2019 juga ada momen tepatnya tahun 2007 dan 2008 tak ada Karhutla. Saat itu Riau memiki Kapolda bernama Brigjen Sutjiptadi yang dikenal keras dan tegas terhadap korporasi. Ketegasan beliau mampu membebaskan Riau dari Karhutla.
Dari sini sebenarnya sangat jelas bahwa persoalan Karhutla tergantung sepenuhnya pada penegakan hukum terhadap korporasi. Jika sedikit saja lemah Karhutla akan terjadi lagi menebar teror hingga mengganggu aktivitas kemasyarakatan.
Periode awal Jokowi memegang jabatan sebagai Presiden konsen pada salah satu prioritas penanganan Karhutla dan terbukti membawa hasil. Sayangnya di tahun ini katup ketat terbuka diduga itu tadi- karena Permenpen LHK nomor 10 tahun 2019.
Hanya sekitar lima tahun dari rentang waktu 1997 sampai tahun ini kawasan sebagian Sumatera dan Kalimantan bebas dari problem Karhutla. Itu artinya lebih dari 17 tahun negeri ini membiarkan korporasi tertentu bertindak seenaknya mengeruk keuntungan tanpa peduli dampak dasyat yang menyengsarakan masyarakat luas.
Presiden Jokowi dalam periode kedua kepemimpinannya perlu bertindak tegas. Tidak hanya tindakan hukum, Presiden Jokowi perlu mengintruksikan kepada Menteri LHK periode mendatang agar menutup ruang potensi Karhutla atau dia digantikan orang lain jika masih terjadi duka dan nestapa asap.
Masa 17 tahun yang terulang bukanlah waktu yang pendek. Membiarkan kepahitan terulang sampai 17 kali bukan hanya menggambarkan kebodohan seekor keledai. Yang terjadi sudah sampai taraf bermental salah satu perilaku burung
unta bila menghadapi bahaya. Menyembunyikan kepala dan tak peduli apapun.
Diakui atau tidak negeri ini setiap tahun selama 17 tahun membiarkan korporasi mengeruk keuntungan dengan menebar teror asap, yang menyengsarakan masyarakat. Mereka sudah seenaknya mengeruk untung tega-teganya membuat sebagian rakyat menderita. Sebuah kejahatan yang bahkan tak cukup dihukum mati.