SUMENEP, koranmadura.com – Mantan Pimpinan Dewan, Mohammad Hanafi tidak yakin atas keseriusan Ketua DPRD Sumenep, KH Hamid Ali Munir untuk menindaklanjuti usulan hak interpelasi yang diusung Lima fraksi, di antaranya Demokrat, Gabungan, Gerindra, PAN, dan PDI Perjuangan.
Menurut Hanafi, hak interpelasi merupakan momentum yang pertama dalam sepanjang sejarah parlemen di Sumenep. Selain itu, Bupati dan Ketua DPRD Sumenep berasal dari partai yang sama, yakni PKB.
Baca: Lima Fraksi DPRD Sumenep Resmi Ajukan Hak Interpelasi
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, lima fraksi mengajukan hak interpelasi terhadap Bupati Sumenep KH Busyro Karim mengenai Perbup Pilkades yang dianggap cacat hukum, cacat prosedur, tidak pro poor (tidak pro-rakyat), mengabaikan legal justice (keadilan umum) dan social justice (keadilan sosial).
Fatsun yang menjadi isu dalam persyaratan calon kepala desa ini antara lain, maraknya bon-bonan calon kepala desa yang hanya menitipkan nama dan tidak serius mencalonkan diri untuk menang. Selain itu, Pemkab dalam hal memilih perguruan tinggi yang akan mengetes calon kepala desa tidak memiliki sandaran akademik dan tanpa pertimbangan integritas fakultatif.
Menurutnya, Ketua DPRD berpotensi tutup mata dan seakan-akan tidak mendengar secara serius usulan lima fraksi atas hak interpelasi yang telah diajukan. Dia berpendapat, Hamid merupakan kader yang loyal terhadap partainya, yang telah mengantarkan dirinya untuk menjadi anggota DPRD Sumenep sejak tahun 1999 atau lima periode. Atas pertimbangan itulah, Hanafi yakin Hamid akan berpikir seribu kali untuk menseriusi usulan hak interpelasi.
Dia berpandangan, Hamid akan melindungi dengan segala upayanya agar Bupati yang juga merupakan kader PKB luput dari jeratan hak interpelasi. Mantan politisi PKB ini menyadari perjuangan Ketua DPRD sebagai kader PKB sebagai ikhtiar politik yang lazim. Namun demikian, apabila usulan hak interpelasi memenuhi “rukun iman” politik namun tetap digergaji oleh ketua dewan, dia yakin nama Hamid sebagai ketua DPRD akan pudar reputasinya.
Sebab, Ketua DPRD akan dinilai anggotanya sebagai pribadi yang cacat etis dan berpotensi tidak dipercaya sebagai ketua dewan pada akhirnya. Di situasi itulah, kata dia, Hamid berada pada simalakama politik. “Mengamankan bupati membuat dia (Hamid, red) tidak populer di dewan. Sementara berjuang atas nama partai, Ketua DPRD akan dipuji Bupati,” katanya.
Baca: Soal Interpelasi Perbup Pilkades, Pengamat: Jangan Sampai Redup Sebelum Berkembang
Sebagai sosok yang pernah berkarir politik dengan Ketua DPRD dan Bupati (di PKB), Hanafi mengaku tahu bagaimana relasi politik antara KH Hamid dengan Bupati KH Busyro Karim. Komunikasi seperti apa yang terjadi pada keduanya dalam rubaiat kekaderannya di PKB, Hanafi tidak bersedia berkomentar panjang.
Dia beralasan, sejarah telah mencatat lika-liku perjalanan siapapun di politik, menulis dengan cara dan dengan tinta yang seperti apa, rekam jejaknya, menurut Hanafi, telah termaktub dengan baik sebagai artefak politik. “Lihat saja nanti,” katanya, seraya berdiplomasi.
Sebelumnya, KH Hamid Ali Munir mengaku telah menerima surat pengajuan hak interpelasi yang diajukan oleh lima fraksi. Secara normatif, dia mengatakan, surat itu akan ditindaklanjuti untuk dirapatkan di tingkat pimpinan yang bersifat kolektif kolegial (musyawarah mufakat).
Selain itu, dia menyebut, dewan, sampai berita ini ditulis belum memiliki tatib yang baru. Namun sepanjang usulan hak interpelasi memenuhi syarat untuk diteruskan, bukan tidak mungkin usulan hak interpelasi seperti yang dikehendaki para pihak yang mengusulkan, akan dilakukan. “Hak interpelasi itu tidak mudah (ada mekanismenya, red),” kata Hamid kepada sejumlah wartawan, Rabu kemarin, 25 September 2019.
Untuk diketahui, sebenarnya hak interpelasi ini tidak tertuju pada pilkades saja. Pantauan Koranmadura.com, para pengusung hak interpelasi telah membedah sejumlah aturan baik mengenai pilkades maupun tentang kebijakan Bupati menyangkut promosi/rotasi/mutasi/reposisi ASN. Dugaan sementara, sebagian promosi/rotasi/mutasi/reposisi dilakukan berdasar analisa jabatan yang tidak tuntas. Sehingga, kehendak untuk the right man on the right job (orang yang benar di tempat yang benar) ditengarai luput dari sasaran.
Selain itu, konsep digitalisasi pendidikan yang diberlakukan di dinas pendidikan dianggap tidak inovatif dan menabrak pendidikan karakter sebagaimana tertuang dalam Sisdiknas. Bahkan, uji validitas program digitalisasi pendidikan dianggap sebagai satu program yang menabrak logika. Sebab, tanpa dijadikan program, digitalisiasi pendidikan pasti berjalan karena kehendak zaman, bukan kehendak dinas pendidikan. (DAN/ROS/VEM)