KORANMADURA.COM – Lima fraksi (Demokrat, PAN, PDI Perjuangan, Gerindra dan Fraksi Gabungan ‘Nasdem Hanura Sejahtera’) di DPRD Kabupaten Sumenep mengirim surat permohonan interpelasi 23 September lalu. Surat interpelasi ini sudah sesuai mekanisme, diusulkan sekurang-kurangnya oleh dua fraksi. Dari unsur ini, interpelasi memenuhi syarat. Anasir lainnya, pengajuan interpelasi harus ditawarkan oleh pimpinan sidang paripurna kepada anggota DPRD, sekurang-kurangnya disetujui oleh lebih dari setengah anggota DPRD yang hadir dalam sidang paripurna.
Lolos tidaknya pengajuan hak interpelasi ini, tergantung dari rapat pimpinan DPRD. Opsi pertama, pimpinan DPRD dapat melanjutkan usulan hak interpelasi ke sidang paripurna. Sebab, dari sisi pengajuan hak interpelasi sudah memenuhi syarat karena diusulkan sekurang-kurangnya oleh tujuh anggota DPRD yang berasal dari lebih satu fraksi.
Opsi kedua, pimpinan DPRD bisa menolak pengajuan usulan hak interpelasi dengan alasan yang bisa dibuat-buat secara politis. Tetapi jika pimpinan DPRD menolak hanya karena alasan politis, kemungkinan, pimpinan DPRD mempertontonkan dirinya kepada anggotanya sebagai pribadi yang cacat argumentatif.
Ada empat pimpinan yang akan menentukan lolos tidaknya di rapim (rapat pimpinan) DPRD yang sifatnya kolektif-kolegial. Pertama, KH Abdul Hamid Ali Munir (ketua DPRD). Hamid merupakan anggota DPRD terlama (5 periode) sejak 1999. Munir istiqamah di jalur PKB (yang tidak menggotong interpelasi). Hamid, baru kali ini terpilih menjadi ketua DPRD 2019 – 2024. Hamid diduga lolos sebagai ketua DPRD Sumenep karena relasi yang dibangunnya terutama di DPW PKB.

Di kabupaten Sumenep, lelaki tinggi besar itu diduga tidak cukup mesra saat berhubungan dengan ketua PKB lama (KH A Busyro Karim) dan ketua PKB saat ini (KH Imam Hasyim). Namun demikian, Hamid tetap berkomunikasi baik dengan internalnya di Kabupaten Sumenep. Tetapi, bisa jadi, penilaian sebagian publik seperti itu adanya, atau tidak begitu situasinya. Apalagi, politik memungkinkan hal-hal yang tak terduga menjadi kenyataan.
Sebagai politisi, Hamid dikenal memiliki tipikal seperti pembalap dengan dua pilihan, ngebut, atau ngerem mendadak. Jika situasi dianggapnya nyaman, lelaki itu bisa tancap gas. Namun apabila situasi politik dalam terawangannya bercuaca buruk, mantan ketua Komisi I DPRD Sumenep (periode 2014 – 2019) menghentikannya tiba-tiba. Suaranya terdengar cukup lantang. Ini bisa dimaklumi karena kediamannya bersebelahan dengan Bukit Kembar, di desa Matanair Kecamatan Rubaru, Sumenep. Apabila bersuara landai di dekat bukit, nadanya tidak jelas tertimbun angin.
Sikap ngebut atau ngerem mendadak yang terbiasa pada ketua dewan ini, memungkinkan untuk dilangsungkan juga untuk mengambil sikap terhadap usulan hak interpelasi.
Bagaimana dengan pimpinan dewan yang kedua, Faisal Muhlish dari PAN? Sejak menjadi anggota DPRD Sumenep, Faisal langsung menjadi wakil ketua DPRD (2009 – 2014). Kembali menjadi menjadi wakil ketua DPRD pada tahun 2014 dan saat ini (2019). Mantan sekretaris DPD PAN ini merupakan sosok yang kalem, low profile, dan pro justicia.

Partainya (PAN), termasuk yang mengusulkan hak interpelasi. Saat ini, Faisal sedang “tidak mesra” dengan Sekretaris PAN, Hozaini Adzim. Ini bermula dari pencalonan DPRD dimana Faisal diduga terlibat dalam hal gagalnya Hozaini sebagai caleg jadi. Saat itu, Hozaini mendapatkan rivalitas internal yang suaranya lebih unggul darinya dan menyebabkan Hozaini tereliminasi.
“Tidak mesranya” Faisal-Hozaini ini berlanjut ke pemilihan calon pimpinan DPRD. Faisal mencalonkan dirinya dan Hozaini mencalonkan kader PAN yang lain, Suharinomo. Dalam voting internal DPD PAN Sumenep, Faisal soft landing sebagai nama yang diusulkan kepada DPW hingga DPP PAN. “Tidak mesranya” Faisal-Hozaini kembali berlanjut ke pemilihan ketua fraksi PAN. Faisal mencalonkan Husna sedangkan Hozaini menjagokan Suharinomo. Baik Faisal maupun Hozaini, sama-sama mengirim surat kepada DPRD untuk dana atas nama pengurus DPD PAN Sumenep. Sampai akhirnya, DPW PAN Jatim turun tangan dan surat yang dibenarkan DPD PAN adalah surat yang dibuat Hozaini.
Bagaimana Faisal menyikapi usulan hak interpelasi? Satu sisi, PAN menjadi fraksi pengusul meski Faisal tidak bertanda tangan dalam usulan Fraksi PAN dalam hal ini. Sebagai pria yang pro justicia, ia akan berpihak kepada koridor hukum. Tetapi sebagai politisi, dari meja pimpinan Faisal bisa bersikap berbeda dengan fraksinya, sebagaimana dia tidak sama haluan pandangan politik dengan pengurus teras PAN, Hozaini, sekretaris DPD PAN.
Lalu bagaimana dengan wakil ketua DPRD K Ahmad Salim? Politisi asal PPP ini lebih menampilkan dirinya sebagai sang resi, atau seakan-akan dirinya sebagai representasi semar dalam tokoh pewayangan. Lelaki ini seringkali tidak berakrobat tetapi safety player. Salim tiga kali menjabat anggota DPRD sejak 2009 dan dua kali menjadi wakil ketua DPRD (2014 – 20019 dan 2019 – 2024).

Pendapatnya di parlemen, seringkali mengejawantahkan masyarakat, islami, dan berpenampilan sebagai sosok yang tawadu’. Ia, bisa jadi memang benar-benar seperti yang direpresentasikannya, atau bisa juga peran itu dipilih untuk menutupi sesuatu yang lain, yang publik umum tak tahu kecuali Salim sendiri yang tahu bagaimana yang sesungguhnya. Sebab, politik merupakan panggung sandiwara dan ceritanya mudah berubah.
Fraksi PPP dimana Salim di dalamnya, tidak termasuk yang mengusung hak interpelasi. Dari sisi tidak adanya Fraksi PPP sebagai sebagai pengusul, Salim memungkinkan mengambil langkah aman untuk tidak meneruskan interpelasi sebagai konsistensi dari pilihan partainya (PPP). Tetapi jika gelombang paripurna mendesak dan bersetuju dengan interpelasi dan cukup syarat, Salim adalah orang yang kerap berdamai dengan takdir politik. Tetapi di parlemen, Salim adalah sosok yang tidak suka berkonflik dengan siapapun meski tidak selalu berinovasi untuk memperbaiki keadaan.
Lalu Indra Wahyudi, wakil ketua DPRD dari Demokrat bagaimana? Indra adalah loyalis partai yang tidak memungkinnya untuk melawan partai. Partai Demokrat di mana Indra bernaung, termasuk fraksi yang mengusung interpelasi. Dari perspektif anarkhi kepatuhan Indra terhadap partai, Indra diperkirakan akan memperjuangkan interpelasi, sepanjang logis, argumentatif dan base on prosedural.

Tetapi sebagai pimpinan dewan termuda, Indra secara psiko-politik memiliki kegamanangan beradu argumen. Sebab, Baik Hamid, Salim, maupun Faisal lebih dari saling mengenal dibanding Indra mengenal ketiga pimpinan yang lain. Namun dari sisi idealisme berkeinginan, Indra seperti lebih unggul meski dari usia tentu terpaut agak jauh. Jika soal pimpinan dewan melakukan voting di internal pimpinan dewan, Indra akan sendiri dan sunyi. Tetapi, pimpinan di mana pun tidak akan selalu voting dalam mengambil kebijakan. Sebab, mereka adalah lokomotif yang dipilih partainya untuk menjadi pimpinan dewan tidak dalam rangka bertindak ugal-ugalan.
Wal hasil, soal interpelasi menunggu keseriusan pimpinan beserta para pengusul dan yang bukan pengusul untuk beradu alasan. Interpelasi ini, sejatinya bukan hanya untuk soal perbup pilkades yang kontroversi. Tetapi dimensi yang lain, interpelasi bisa merembet kepada perihal yang berbeda sama sekali dari pilkades seperti soal mutasi/rotasi/promosi yang konon sebagian diantaranya berpijak pada eselonisasi dan sebagian kecil lainnya bersdasar pada eseloragi (disisipkan). Itu sebabnya, public menanti gaung anggota DPRD dalam bersikap apakah interpelasi mengalami eskalasi atau berhenti sama sekali.
Catatan : Moh Madani – Redaksi Koran Madura