Oleh: Miqdad Husein
Wartawan senior Goenawan Mohamad saat Presiden RI ketiga Habibie wafat memposting twitt menarik. “Ketika Habibie dilantik jadi presiden pilihan Soeharto, demonstrasi besar memprotes. Tak dinyana Habibie bukan boneka Soeharto. Pelajaran dari sejarah: ketika iklim politik penuh curiga, kita terlalu mudah menghakimi,” katanya.
GM panggilan akrab Goenawan tergolong sosok kritis saat itu. Banyak kalangan pro demokrasi yang berjuang melawan Soeharto bersikap sama. Ada pula yang sekedar bersikap nyinyir bertitik tolak dari kepentingan kekuasaan.
Dari twittnya GM mewakili kalangan yang berpikir obyektif. Ia walau agak terlambat menyadari bahwa Habibie adalah Habibie. Bukan boneka Soeharto sebagaimana didengungkan sebagian kalangan pejuang demokrasi saat itu.
Mereka tak sepenuhnya salah memang. Seluruh rakyat negeri ini mengetahui kedekatan Habibie dengan Soeharto. Pernyataan yang kerap diucapkan Habibie bahwa Soeharto adalah guru politiknya makin mempertegas kedekatan itu.
Politik selalu menciptakan batas kelompok siapa dan berpihak ke siapa. Habibie saat itu memang menjadi bagian dari rezim Orba. Bahwa beliau sebenarnya tetap berpijak sebagai intelektual dan jauh dari bagian rezim Orba yang super korup, sebagian rakyat tak mau peduli. Apalagi seperti disebut GM awal reformasi iklim politik memang penuh kecurigaan dan lagi-lagi masyarakat menggunakan cara paling praktis memandang seseorang: ada di mana dia.
Di sinilah integritas dan moralitas Habibie usai dikukuhkan sebagai Presiden RI ketiga menjadi tidak berarti. Sebagian masyarakat lagi-lagi memandang penuh kecurigaan hanya atas dasar parameter di mana seseorang berada.
Habibie orang baik di tempat dan waktu yang salah. Begitulah. Karena itu ketika beliau bekerja keras hingga mampu menurunkan kurs dollar dari 15 ribu menjadi hanya 6500, diabaikan. Ketika meruntuhkan otoritarian Orba dengan demokrasi modern tetap dicurigai. Bahkan ketika mampu menyelesaikan krisis yang menyentuh langsung sembilan kebutuhan pokok rakyat juga sama sekali tak diapresiasi.
Menarik ketika pengamat politik Salim Said menyegarkan ingatan rakyat negeri ini saat wawancara dengan salah satu stasiun swasta saat penayangan prosesi penguburan Habibie. Bahwa ternyata keluarga Cendana keberatan dan menantang keras Habibie menjadi presiden. Dan sikap antipati keluarga Cendana tak berubah sampai Habibie menghadap Sang Pencipta.
GM dan para pejuang demokrasi, termasuk para intelektual dalam perkembangan sebenarnya terlihat mulai melihat siapa sosok Habibie pasca pemilu terbersih selama reformasi di tahun 1999. Sayangnya perkembangan pikiran dan sikap obyektif mereka tak diikuti kejernihan berpikir para politisi.
Entah siapa mereka yang sebelumnya bersama BJ. Habibie yang berkhianat sehingga Pertanggungjawaban beliau ditolak MPR. Yang pasti tokoh Golkar saat itu Marwah Daud Ibrahim tak mampu menahan amarahnya meneriakkan penghianatan yang menyebabkan reformasi seakan kembali tertatih.
Habibie lagi-lagi memperlihatkan kebersihan dan jiwa demokratisnya. Ia menolak dicalonkan sebagai presiden setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR dan memberikan kesempatan kepada orang lain.
Hingar bingar politik memang mudah mengaburkan pikiran jernih sehingga memunculkan kecurigaan dan kebencian tanpa dasar. Ironisnya, suasana seperti itu sering menjadi pilihan untuk meraih kekuasaan. Rakyat alih-alih diajak berpikir jernih, yang dieksploitasi justru amarah atas dasar kecurigaan. Dan jalan itu begitu mudah ditempuh di era sekarang karena media sosial begitu memanjakan dan mudah melelapkan.
Seperti kata GM, kita mudah menghakimi. Celakanya pijakan menentukan nasib orang itu bukan kejujuran dan kejernihan berpikir melainkan kekeruhan berpikir serta emosi yang sengaja diciptakan. Tak heran bila masih saja orang-orang seperti Habibie menjadi korban.