Oleh: Miqdad Husein
Dalam setiap demo mahasiswa ataupun kelompok masyarakat lain bila terjadi rusuh selalu pihak yang disalahkan polisi. Sementara pendemo terutama mahasiswa diposisikan sebaliknya sebagai pihak yang benar.
Pemikiran atau persepsi yang terbangun itu seakan baku, tak bisa digugat. Mahasiswa dipersepsikan sebagai makhluk mulia yang sedang memperjuangkan kebenaran, aspirasi masyarakat. Bahwa dalam memperjuangkan keluar dari koridor, kurang diperhatikan. Pokoknya polisi salah dan mahasiswa benar. Titik. Tak bisa dibantah.
Soal bukti kejadian kerusuhan menjadi tidak penting. Demikian pula proses pembuktian. Yang dikedepankan persepsi, pemikiran yang seakan seperti keputusan inkrah dari pengadilan.
Biasanya di era media sosial seperti sekarang dipaparkan video kerusuhan. Lagi-lagi konsentrasi perhatian lebih mengarah pada oknum aparat kepolisian yang bertindak represif. LSM pun seperti biasa mengecam aparat kepolisian.
Bagaimana dengan sepak terjang oknum mahasiswa yang anarkis? Juga muncul video serupa. Namun, persepsi dan pemikiran sudah terpola sehingga tetap saja polisi selalu berada pada pihak salah. Posisi salah itu akan makin menuju pojok-pojok sempit bila ada korban tertembak misalnya. Walau belum ada uji balistik peluru milik siapa yang ditemukan kecenderungan tetap menempatkan kesalahan pada aparat kepolisian.
Argumen yang dibangun biasanya menyebut aparat polisi seharusnya tidak terpancing. Polisi seharusnya mampu mengendalikan diri dan bersikap profesional. Apalagi polisi dilengkapi senjata minimal pentungan serta tameng.
Di sini hampir tak disinggung mengapa polisi kadang terpaksa bertindak. Tidak disebut bagaimana provokasi mahasiswa atau para pendemo. Bagaimana polisi dilempar batu, benda keras dan bahkan bom molotov. Jarang diungkapkan pula bahwa para pendemo secara normatif sudah melakukan kesalahan dengan tetap berdemo melewati batas waktu yang ditegaskan UU. Bukankah kerusuhan demo hampir selalu setelah melewati jam 18.00 wib atau saat malam sudah mulai gelap.
Menganggap mahasiswa selalu benar dan polisi salah tanpa proses investigasi dan peradilan merupakan tindakan menyederhakan masalah. Demikian pula menyalahkan mahasiswa dan membenarkan polisi merupakan tindakan sepihak. Jika seorang tersangka saja dalam proses peradilan dengan azaz praduga tak bersalah belum dianggap bersalah apalagi ketika belum ada sebuah proses sekurangnya- investigasi terhadap sebuah kerusuhan.
Penting di sini semua persoalan dipaparkan secara jernih sehingga jelas siapa yang benar dan siapa yang bersalah. Lalu dari keputusan itulah sanksi hukum diberlakukan agar membawa efek jera sehingga kejadian serupa tidak terulang.
Baik polisi maupun mahasiswa tidak kebal hukum. Kedua pihak jika terbukti melanggar hukum harus diproses hukum. Mereka yang berdasarkan fakta dan data serta proses pengadilan terbukti bersalah selayaknya mendapat sanksi hukum.
Mengimbau semua pihak baik mahasiswa dan polisi agar menahan diri dalam setiap momentum demo, merupakan bagian dari upaya menghindari kerusuhan. Selayaknya menjadi suara seluruh potensi bangsa.
Menyalahkan satu pihak tanpa pembuktian, sekadar pembentukan opini, apalagi melalui berbagai kecaman, jelas merupakan tindakan yang membuka ruang terjadi pengaburan persoalan. Akibatnya bisa fatal. Yang benar bisa disalahkan, yang salah bisa dibenarkan. Sebuah bibit pengulangan kerusuhan tanpa disadari telah ditebar karena semuanya sengaja dibiarkan tak jelas; sekedar permainan opini demi kepentingan sesaat. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.