SURABAYA, koranmadura.com – Unjuk rasa serentak yang digelar sejumlah kelompok mahasiswa dan organisasi kemasyarakatan selama beberapa hari terakhir diyakini tidak berimbas pada penggulingan kepemimpinan nasional seperti 1998 lalu.
Aksi yang terjadi secara serentak di beberapa daerah di Indonesia itu, berbeda dengan aksi mahasiswa 1998, baik dari segi pola, kondisi maupun isu yang diusung.
Mantan aktivis ’98, Abu Hanifah, mengatakan, pada unjuk rasa yang puncaknya pada Hari Tani Nasional (HTN) 2019, pola unjuk rasa yang dilakukan tidak terstruktur seperti saat 1998. Masing-masing kelompok terkesan bergerak sendiri-sendiri dan tidak terkoordinir.
Pola tersebut, kata dia, sangat berbeda dengan unjuk rasa yang berujung pada pelengseran Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden RI. Saat itu, sebelum aksi serentak, jaringan gerakan mahasiswa cukup kuat, diawali dari jaringan kota hingga jaringan nasional.
“Saat itu, sudah terbentuk satu jaringan gerakan yang cukup kuat, sehingga isu yang dirumuskan menjadi seragam,” kata Abu Hanifah, dalam diskusi “Merawat Keragaman Indonesia” di Yayasan Sehati, Surabaya, Selasa malam, 25 September 2019.
Peneliti salah satu lembaga survei nasional itu menjelaskan selain pola yang berbeda, kondisi yang melatar belakangi munculnya aksi unjuk rasa juga berbeda. Pada 1998, terjadi akumulasi kejenuhan pada kondisi politik dan kepemimpinan nasional saat itu.
Diawali dengan isu gerakan golput pada 1997, akibat sistem pemilihan umum (pemilu) yang dianggap tidak mengakomodir hak politik dengan baik, isu kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) menjadi isu pemersatu hampir seluruh kelompok perlawanan yang saat itu mulai membangun gerakan bawah tanah.
Maka saat itu muncul beberapa kelompok pergerakan seperti Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) dan beberapa kelompok lainnya yang menjadi wadah gerakan di luar organisasi kemahasiswaan yang oleh penguasa saat itu diberi label Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).
Gerakan bawah tanah itu, merembet ke sektor lainnya, termasuk ke kelompok seniman, jurnalis, kelompok perempuan hingga akademisi.
Tokoh yang bersuara lantang melawan penguasa saat itu, jelas dia, secara otomatis menjadi tokoh sentral gerakan reformasi. Jaringan para tokoh itu, membangun kelompok gerakan yang secara tidak langsung antar kelompok tersebut terbangun jaringan karena adanya kesamaan kepentingan.
“Sebut saja Megawati Soekarno Puteri, Sri Bintang Pamungkas, Amin Rais, Widji Tukul, Gunawan Muhammad, Mulyana W Kusumah, Abdurrahman Wahid dan lain-lain. Saat ini, tokoh sentral seperti mereka tidak muncul karena masing-masing kelompok mengusung kepentingannya sendiri-sendiri,” jelas Abu.
Saat ini, jelas dia, kejenuhan terhadap kondisi politik tersebut nyaris tidak nampak. Unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa, lebih pada isu regulasi nasional seperti penolakan terhadap revisi sejumlah Undang-Undang dan bukan pada reformasi kepemimpinan nasional, itupun masih ada kelompok yang tidak satu suara.
“Jika ada kelompok yang menyuarakan tuntutan pergantian kepemimpinan negara, itu hanya kelompok tertentu dan tidak menjadi isu nasional,” ujar. Abu Hanifah.
Senada dengan Abu Hanifah, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Surabaya, Aziz Prayitno, mengatakan, aksi yang dilakukan para mahasiswa bukanlah isu pergantian kepemimpinan nasional.
Aksi serentak tersebut lebih pada isu revisi beberapa Undang-Undang, seperti UU tentang KPK, UU Agraria, UU Hukum Pidana dan beberapa UU lainnya.
“Saya tidak melihat adanya gerakan untuk menggulingkan pemerintahan saat ini,” katanya.
Ia juga tidak melihat adanya indikasi makar dalam gerakan tersebut. Bahkan, para mahasiswa nampak cukup waspada dalam menjalankan gerakannya tersebut.
“Soal adanya bentrok yang terjadi di beberapa lokasi, bukan disebabkan oleh gerakan yang membahayakan keutuhan negara,” jelas Prayitno.
Ia hanya mengingatkan, mahasiswa untuk mengantisipasi masuknya kepentingan politik tertentu yang dapat merusak kemurnian tujuan gerakan. Kepentingan politik itu, diyakini Prayitno, akan selalu disusupkan kelompok-kelompok tertentu terutama dalam aksi unjuk rasa mahasiswa yang mengusung isu-isu nasional.
“Tidak menutup kemungkinan ada kelompok politik tertentu yang menyusupkan kepentingan mereka pada gerakan kawan-kawan mahasiswa,” katanya. (G. MUJTABA/ROS/DIK)