Oleh: MH. Said Abdullah*
Fenomena resesi ekonomi dunia mulai terasa. Jerman menjadi salah satu negara Eropa terbesar yang sudah mengumumkan negaranya memasuki fase awal resesi ekonomi.
Perekonomian Jerman mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,7 persen. Ekspor barang buatan Jerman di bulan Juli mengalami penurunan sebesar -2,7 persen dibandingkan bulan sebelumnya akibat penurunan permintaan dari negara-negara non-Eropa. Efek Jerman ini diperkirakan akan mempengaruhi seluruh Uni Eropa dan negara-negara dunia yang menjadi mitra utama ekonomi Jerman.
Setelah Jerman, Turki juga kembali memasuki resesi ekonomi. Ekonomi Turki mengalami kontraksi atau minus 1,5 persen yoy pada kuartal III-2019. Pada kuartal sebelumnya, minus 2,4%. Hal ini menunjukkan bahwa Turki telah mengalami resesi. Penyebab utama resesi ekonomi Turki adalah Krisis mata uang. Nilai Lira anjlok 30 persen pada tahun lalu. Perekonomian yang lesu menyebabkan permintaan domestik turun tajam. Stabilitas politik yang terganggu menyebabkan investasi asing hengkang dari Turki.
Kondisi Jerman dan Turki akan memberikan efek domino bagi negara-negara Eropa lainnya. Di kawasan Asia Tenggara, negara yang sudah memberikan signal akan mengalami resesi ekonomi adalah negara tetangga Singapura. Pada kuartal kedua tahun 2019, pertumbuhan ekonomi Singapura mengalami penurunan sebesar 3,3 persen dibandingkan periode sebelumnya. Kontraksi ini terbesar dalam tujuh tahun perekonomian Singapura. Dampaknya terlihat pada sektor manufaktur yang terus melemah, sementara sektor jasa dan layanan, khususnya sektor keuangan, pariwisata dan bisnis, diprediksi bisa menjadi penyelamat perekonomian Singapura.
Memburuknya perekonomian negara-negara yang merata hampir di semua kawasan di dunia, tidak bisa dilepaskan dari perang dagang (trade war) kemudian diikuti dengan perang mata uang (currency war) yang masih terjadi antara dua super power dunia Amerika Serikat dan Tiongkok. Kondisi terakhir masih terjadi perang tarif antara keduanya. Imbas dari “perang” tersebut telah menyebabkan terjadinya perlambatan perekonomian global.
Lalu bagaimana dengan perekonomian Indonesia, siapkah APBN Indonesia mengantisipasi perlambatan ekonomi global tersebut dan bagaimana peran DPR dalam menghadapinya ?
Untuk menghadapi resesi ekonomi global mutlak diperlukan daya tahan APBN sebagai stimulus fiskal untuk menggerakkan roda pembangunan nasional. Oleh sebab itu, diperlukan APBN yang kredibel, sehat dan berkelanjutan. Tanpa itu, bukan tidak mungkin Indonesia juga berpotensi menyusul beberapa negara yang sudah menyatakan mengalami resesi ekonomi.
Kondisi ekonomi Indonesia sampai dengan disahkannya UU APBN 2020, masih memperlihatkan daya tahan yang kuat, dengan beberapa indikator makro fiskal yang bisa dijadikan sebagai ukuran. Pertama, tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dalam lima tahun terakhir (2015-2019) mencapai angka 5,08 persen. Angka tersebut layak mendapat apresiasi ditengah lesunya perekonomian global. Bahkan beberapa negara yang mengalami resesi perekonomiannya tumbuh negatif.
Pemerintah harus terus menerus mencari solusi agar pertumbuhan ekonomi tersebut bisa ditingkatkan, mengingat pertumbuhan 5 persen belum cukup kuat untuk menjadikan masyarakat lebih sejahtera. Bahkan jika tidak ditingkatkan, Indonesia bisa terjebak dalam middle income trap.
Kedua, penerimaan sektor perpajakan terus meningkat setiap tahunnya, yang tergambar dalam rasio pajak terhadap PDB (tax ratio). Dalam APBN 2020 diperkirakan tax ratio akan mencapai angka 11,56 persen. Peningkatan tax ratio dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan bahwa APBN semakin sehat dan ruang fiskal semakin terbuka lebar. Oleh sebab itu, Pemerintah dituntut untuk terus mendorong peningkatan tax ratio melalui berbagai inovasi kebijakan dengan tetap memberikan insentif fiskal untuk daya saing dan investasi. Hal ini menunjukkan bahwa APBN dikelola dengan efisien dan efektif sebagai instrumen kebijakan fiskal dalam rangka mendorong laju pembangunan.
Ketiga, defisit APBN semakin terkendali setiap tahunnya. Pengelolaan defisit anggaran dalam lima tahun terakhir memperlihatkan pergerakan yang masih berada di bawah ambang batas yang diperbolehkan oleh undang-undang sebesar 3 persen. Bahkan dalam APBN 2020 defisit anggaran diprediksi mencapai 1,76 persen dari PDB. Ke depan Pemerintah harus terus melakukan pengelolaan defisit secara hati-hati, tetap harus waspada dalam melihat tren perkembangan ekonomi global. Perlambatan ekonomi negara-negara di dunia, bisa memberikan dampak terhadap perekonomian nasional.
Keempat, tren perkembangan keseimbangan primer dalam lima tahun terakhir memperlihatkan terus menunjukkan penurunan yang signifikan. Upaya menjaga keberlanjutan fiskal juga terlihat dari defisit keseimbangan primer dalam RAPBN 2020, diperkirakan sebesar 0,0-0,23 terhadap PDB. Tren penurunan keseimbangan primer menuju positif ini memberikan bukti kuat, sekaligus sinyal positif bahwa pengelolaan APBN selama ini telah berada pada jalur yang benar. Pemerintah harus terus waspada, untuk menjaga keseimbangan primer kearah positif memiliki tantangan yang tidak ringan, mengingat kompleksitas persoalan ekonomi baik secara nasional maupun global.
Semakin membaiknya kualitas APBN dari tahun ke tahun itu, tentu tidak bisa dilepaskan dari peran Pemerintah dan DPR yang bersama-sama membahas siklus anggaran tersebut, mulai dari kerangka kebijakan Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) hingga Nota Keuangan dan RAPBN yang disampaikan oleh Presiden tanggal 16 Agustus setiap tahunnya. Dengan melihat tantangan ekonomi yang semakin komplek, DPR baru periode 2019-2024 perlu meningkatkan fokus dan konsentrasinya dalam menghasilkan APBN yang memiliki daya tahan yang kuat, untuk menghadapi resesi ekonomi global yang sudah dialami oleh beberapa negara.
(Tulisan ini bersumber dari tulisan yang dimuat di www.investor.id)
*Anggota DPR RI dari Madura