(Diskusi Partisipatif Peringatan Sumpah Pemuda)
SUMENEP, koranmadura.com- Ada cara lain untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2019 di DPC PDI Perjuangan. Para pemuda (KNPI, IMM, PMII, IPNU, GMNI, KOHATI, dan BEM) melakukan refleksi diri sebagai pemuda. Mereka mengidentifikasi banyak hal seputar realitas pemuda kontemporer. Soal jati diri, kebangsaan, integritas, keberpihakan pemerintah, dan masa depan peradaban.
Sebagian pihak menilai telah terjadi kealpaan terhadap pemuda dari pemerintah. Pemerintah menilai pemuda bukan ditempatkan di posisi yang istimewa. Ini dibuktikan dengan ketiadaan perspektif bagi pemuda sebagai penghuni bangsa masa depan. Melainkan, pemerintah menilai dirinya sebagai semesta yang menomorsatukan infrastruktur dibanding SDM pemuda. Akibatnya, pemuda berada di garis orbit laksana matahari; berputar di tempatnya sendiri.
Seharusnya, pemuda disediakan karpet merah sebagai ujung tombak, terutama kehadiran pemuda di desa. Sebab, meminjam catatan Emha Ainun Nadjib, sejatinya Indonesia bagian dari desa. Tetapi faktanya, penguatan desa yang seharusnya melibatkan pemuda tercerabut dari kebijakan pemerintah yang tidak pro young.
Mestinya, pemerintah yang memiliki sub ordinasi pemuda melalui kementerian pemuda dan olah raga yang mengejawantah sampai tingkat kabupaten, ditengarai berdiri beriringan di simpag jalan. Akibatnya, tegak lurus jalan peradaban terkooptasi dan tersubordinasi yang mengenyampingkan peran (pemuda).
“Akibatnya, sebagian pemuda memilih jalannya sendiri yang terkadang tidak lazim,” kata Ketua IMM, Umam dalam dialog partisipatif bertajuk Di Persimpangan Jalan Kaum Muda untuk Masa Depan Peradaban, di kantor DPC PDI Perjuangan Sumenep Jalan Lingkar Barat-Selatan Sumenep.
Kejadian tak lazim pemuda seperti narkoba, pergaulan bebas, dan suka-suka (hura-hura), ditengarai karena kaum muda mengadaptasi sebagian kaum tua yang lebih dulu melaksanakan serupa. Itulah sebabnya, mengatasnamakan ketidakbajikan an sich dianggap tidak fair, sebagaimana juga adil jika seberang jalan kaum muda saat ini karena peran orangtua. Itulah sebabnya butuh sintesa dari tidak bertemunya tesa dan antitesa yang mengkerut di wajah republik.
Robin, aktivis GMNI misalnya, meminta semua pihak (terutama kamum muda) agar mempertegas jati diri sebagai apa dan apa kompetensinya. Sebab, dia beralasan, ada kecendrungan di era milenial sebagian kaum muda tidak jelas identifikasi dirinya. Ketidakjelasan identifikatik ini menjadi sebab tidak hadir (tidak dilibatkan) dalam pembangunan. Itulah sebabnya, pria berkacamata ini meminta kaum muda juga menyadari kompetisi dirinya yang boleh jadi belum jelas kelaminnya. “Sepertinya, kaum muda perlu memberdayakan lebih terhadap kaum muda seperti adanya sekolah anggaran,” dia mengusulkan.
Sementara Mahsun, Ketua KNPI, memandang problem kaum muda bertitik tolak dari krisis kebudayaan. Ada, dia menduga, pemuda yang terjebak ke dalam budaya pragmatis-hedonistic. Itulah sebabnya, kaum muda berhak melakukan introspeksi sebagai apa, mau kemana, bagaimana caranya, tujuannya, jalan yang harus ditempuh, kreatif di bagian mana, dan baca buku atau tidak. “Jangan sampai tidak baca dan mengikuti dinamika karena itu urgen,” kata pria yang pernah bermukim di Jogja ini.
Di ujung dialog dimana setiap peserta adalah pembicara dalam dialog partisipatif ini, para pihak bersepakat untuk merekomendasikan kajian kaum muda untuk Sumenep dan Indonesia.

Pertama, berkait dengan pemerintah, negara harus mempertimbangkan keberadaan kaum muda sebagai pilar bangsa masa depan dengan cara memberikan peran untuk berinovasi. Ini ditandai dengan ada kebijakan yang mengedepankan peran kaum muda dalam pembangunan yang diulai dari desa. Sebab, desa merupakan ujung tombak negara sebagaimana diisyaratkan Mao Tse Tung, Iwan Fals, Emha Ainun Nadjib dan slogan Sumenep, noto kuto lan mbangun deso.
Kedua, kaum muda lebih serius mengidentifikasi diri yang penuh dengan integritas agar tidak begitu mudah membuat kambing hitam terhadap pihak lain. Kaum muda yang berdedikasi lebih berpotensi mengambil peran dan jauh dari kegalauan terhadap masa depan.
Ketiga, kaum muda menurut forum yang berkembang di dialog partisipatif ini, mengamanati dengan gerakan revolusi moral. Ada Road map untuk mempertegas kembali identitas kebangsaan pemuda yang dedikatif dan SDM yang kuat menghadapi jaman yang dekadensif.
Wal hasil, dialog memperingati Sumpah Pemuda ini menghendaki kesinambungan perbincangan dan rencana tindak lanjut. Sebab membincang kaum muda sebagai pewaris bangsa butuh waktu panjang, butuh data, kemampuan untuk berpikir, berjuang dan menurunkan dunia ide kepada dunia nyata. (TIM/SOE/VEM)