Oleh: MH. Said Abdullah*
Salah satu persoalan yang mengemuka dan menjadi sorotan masyarakat pasca pelantikan Kabinet Indonesia Maju adalah radikalisme. Paling tidak ada tiga menteri baru yang secara terbuka memberikan pernyataan tentang radikalisme yaitu Menko Polkam Mahfud MD, Menteri Agama Fahrur Rozi dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Mahfud MD, yang berlatar belakang Nahdatul Ulama sudah lama menyoroti persoalan radikalisme di negeri ini. Ia misalnya, merupakan sosok paling frontal menghadapi para pengikut HTI yang bersikukuh mengusung konsep khilafah. Secara terbuka Mahfud menantang dan menegaskan bahwa tak ada ajaran Islam dalam Al Quran tentang khilafah.
Jika Mahfud menghadapi di wilayah intelektual Tito Karnavian, yang mantan Kapolri itu lebih banyak berhadapan langsung dengan kalangan radikalis. Menteri Dalam Negeri Tito bahkan berhadapan tidak sekedar dalam istilah tapi langsung menjadi bagian kekuatan kepolisian dalam menghadapi terorisme ketika menjadi Komandan Densus 88. Ini artinya Tito Karnavian pernah bertarung dengan resiko gugur menghadapi teroris.
Fahrur Rozi yang kini menjadi pucuk pimpinan Kementrian Agama dengan latar belakang sebagai petinggi TNI tak perlu diragukan komitmen dan konsistensinya. Pos barunya itu dalam menangani persoalan radikalisme ibarat sekedar berganti methode pendekatan. Jika saat di TNI lebih menggunakan kekuatan fisik saat ini sebagai Menteri Agama, lebih menggunakan pendekatan pembinaan, pengayoman, pencerahan dan langkah-langkah pendekatan persuasif lainnya.
Para menteri lain tentu saja memiliki beban moral sama untuk memerangi radikalisme. Kementrian Pertahanan yang dinahkodai Prabowo Subianto misalnya secara normatif dan konsepsi bahkan mempunyai tugas lebih luas, tak sekedar radikalisme. Tantangan infiltrasi, agresi dan serbuan dari kekuatan luar terhadap negeri ini menjadi beban tugas berat Kementerian Pertahanan.
Sebenarnyalah persoalan radikalisme menjadi pekerjaan rumah seluruh Kabinet Indonesia Maju dan seluruh komponen negeri ini. Diakui atau tidak, radikalisme memang menjadi salah satu tantangan negeri ini yang belakangan merebak ke berbagai sektor. Moment-moment politik seperti Pilpres, Pileg dan Pilkada selalu menjadi unjuk kekuatan mereka.
Pilpres beberapa waktu lalu sangat jelas menggambarkan anasir-anasir radikalis sehingga pesta demokrasi yang seharusnya penuh kegembiraan berubah diwarnai ketegangan. Masyarakat muslim negeri ini sempat terbelah dan nyaris terperangkap konflik. Padahal Pilpres tak lebih dari upaya mencari yang paling mendapat kepercayaan dari rakyat Indonesia dari dua putra terbaik negeri ini.
Namun ternyata Pilpres sempat seakan menjadi pertarungan hidup mati dari para pendukung. Yang menyedihkan keterbelahan hampir semua berbungkus agama. Agama yang suci dijadikan alat politik untuk menghadapi sesama saudara rakyat negeri ini hanya atas dasar perbedaan pilihan.
Saatnya rakyat negeri ini belajar dari kebersamaan Bapak Jokowi dan Bapak Prabowo dalam perahu Kabinet Indonesia Maju. Keduanya yang bersaing selama Pilpres terbukti memiliki ikatan kebersamaan untuk kepentingan kemajuan negeri ini. Dan kebersamaan yang terlihat itu bukan tanpa dasar serta persambungan rekam jejak relasi keduanya.
Jika dilihat dari latar belakang partai pengusung yaitu PDIP dan Gerindra sangat jelas keduanya sebenarnya justru lebih potensial berada dalam kebersamaan. Prabowo pernah menjadi Cawapres Ibu Megawati pada Pilpres 2009. Jokowi pernah diusung PDIP berkoalisi dengan Partai Gerinda dalam Pilkada Jakarta. Kedua partai itu pada periode pemerintahan 2009 sampai 2014 saling bahu membahu menjadi kekuatan oposisi.
Pertanyaannya, mengapa dalam Pilpres 2019 terjadi ketegangan luar biasa terutama di tengah masyarakat? Mudah menelisik tali temali kompleksitas persoalan itu. Jawabannya pun sangat jelas: bermainnya kalangan radikalis, yang memanfaatkan perbedaan politik melalui penyalahgunaan ajaran suci agama. Simbol-simbol agama dijadikan pembungkus perbedaan pilihan sehingga masyarakat mudah terbelah dan hampir saja terjebak konflik.
Terbukti ketika seluruh proses selesai ternyata Jokowi dan Prabowo Subianto justru bisa duduk bersama, menikmati makan siang bersama dalam ikatan persaudaraan sebangsa dan se tanah air. Relasi keduanya kembali dalam ikatan persaudaraan setelah nuansa-nuansa provokasi mulai mewujud sikap rasional untuk kepentingan negeri ini.
Radikalisme adalah kenyataan yang telah terbukti menjadi duri dalam perjalanan negeri ini. Radikalis bisa datang dari agama apa saja dengan tujuan bagaimana mengaduk emosi menjadi kebenciaan yang pada akhirnya memunculkan konflik sosial. Bisa jadi bibit-bibit memang berasal dan ada di negeri ini serta sangat mungkin pula masuk dari luar.
Kekuatan kebersamaan seluruh komponen bangsa untuk menjaga kedamaian negeri ini dari gangguan kaum radikal mutlak diperlukan agar negeri ini tidak terjerumus konflik. Kejernihan berpikir perlu terus diasah sebagai bekal belajar dari pengalaman kepahitan negara-negara yang terjebak konflik berkepanjangan.
*Ketua Banggar DPR RI