SUMENEP, koranmadura.com – Tahapan penetapan calon kepala desa (Cakades) di 226 Desa yang ada di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur telah selesai. Penetapan cakades sebagian desa dilakukan pada, Kamis, 3 Oktober 2019 usai pelaksanaan tes kepemimpinan dilakukan, Rabu, 2 Oktober 2019.
Meski penetapan cakdes telah berlalu, pengajuan hak interpelasi atas Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 54/2019 yang diajukan lima fraksi DPRD Sumenep dipastikan berlanjut. Sebab, banyak persoalan yang dinilai kontroversi dalam perbup sebagai sandaran hukum pelaksanaan pesta demokrasi tingkat desa itu.
“Meski sudah ada penetapan calon, hak interpelasi tetap berlanjut,” kata H. Masdawi, Anggota Fraksi Partai Demokrat, Jumat, 4 Oktober 2019.
Baca: Lima Fraksi DPRD Sumenep Resmi Ajukan Hak Interpelasi
Senada dikatakan oleh Ahmad Suwaifi Qayyum, anggota Fraksi Gerindra. Menurutnya banyak persoalan yang belum terjawab dalam Perbup Nomor 54/2019. “Sehingga perlu dilakukan interpelasi,” ungkapnya.
Lima fraksi itu diantaranya Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi Nasdem Hanura Sejahtera, dan Fraksi Gerindra.
Darul Hasyim Fath, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan mengatakan, pengajuan hak interpelasi merupakan bagian dari manifestasi sikap politik fraksi-fraksi. Sehingga tidak ada alasan pengajuan hak interpelasi dihentikan.
“Ini bagian dari hak legislator dengan mempertanyakan apa dasar pelaksanaan pilkades ini, baik dari segi penggunaan anggaran dan yang lain,” katanya.
Sebab kata dia, hasil kajian yang dilakukan banyak kejanggalan mengenai tahapan Pilkades 2019 ini. Salah satunya penggunaan anggaran pelaksaan tes kepemimpinan yang diambilkan dari dana APBDes. Padahal kata dia sesuai Undang-undang Nomor 6/2014 pelaksanaan Pilkades dianggarkan melalui APBD bukan APBDes.
Selain itu, penerapan Perbup 54/2019 sebagai sandaran hukum pelaksanaan Pilkades dinilai tidak lazim. Karena diundangkan tanpa harus melakukan konsultasi publik. “Aturannya Perbup, Pergub, Undang-undang, Peraturan Presiden, itu harus ada konsultasi publik sebelum diundangkan. Ini kan tidak,” jelasnya.
Bahkan lanjut politisi PDI Perjuangan tiga periode it, lahirnya Perbup 54/2019 dianggap telah membelenggu hak politik masyarakat sipil. Karena didalam perbup dirasa kurang memperhatikan kearifan lokal.
Dia mencontohkan, penetapan nilai skoring mantan kepala desa dan mantan ketua Badan Permusyawaratan Desa (Desa) yang cukup tinggi menyebabkan proses demokrasi di tingkat desa kacau. Karena banyak desa yang mengundang mantan kepala desa atau ketua BPD untuk mencalonkan diri di desa tertentu, itu dilakukan untuk menjatuhkan lawan politik yang dianggap menjadi rival politik incumbent.
“Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyamaratakan masyarakat dimata hukum itu kami sangat setuju. Tapi, kan Pemerintah Daerah tidak harus mengenyampingkan kearifan lokal (local wisdom). Sehingga tidak ada hak politik masyarakat sipil yang disabotase. Mestinya Pemkab membuat deskresi soal itu,” ungkapnya.
Oleh karena itu Fraksi PDI Perjuangan bersama fraksi lain mengajukan hak interpelasi. Tujuannya untuk mengawal keberlangsungan proses demokrasi tingkat desa.
“Fraksi PDI Perjuangan punya komitmen menjaga keberlangsungan demokrasi ditingkat desa sesuai dengan Undang-undang dan tuntunan hukum yang berlaku. Jadi, interpelasi tetap lanjut,” tegasnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Sumenep Moh. Ramli mengatakan, soal pembiayaan pelaksanaan tes kepemimpinan melalui APBDes sudah sesuai dengan aturan.
“Boleh lah, di regulasi itu ada. Hemat kami boleh, justru yang tidak boleh membebani calon,” katanya.
Apalagi kata dia, pembiayaan tes itu telah diatur dalan Peraturan Bupati Nomor 54 selaku sandaran hukum pelaksanaan Pilkades ini. “Dalam Perbub sudah ada,” tegasnya.
Sementara soal penerapan Perbup nomor 54/2019 yang dinilai tanpa melakukan konsultasi publik, kata Ramli itu tidak benar.
“(Konsultasi Publik) sudah difasilitasi Gubernur, artinya tidak ada yang dilanggar. Boleh siapapun memiliki persepsi,” ungkapnya.
Jumlah bacakades yang ikut tes Kepemimpinan sebanyak 253 dari 35 desa di 22 kecamatan. Mereka mengikuti tes tulis dan tes wawancara di gedung Islamic Centre. Sementara pihak yang menyelenggarakan tes diserahkan kepada Universita Merdeka (Unmer) Malang. Biaya tes kepemimpinan dibebankan pada desa dengan menggunakan dana cadangan yang dianggarkan setiap tahun. Biaya tes tambahan itu sebesar Rp500 ribu per orang.
Untuk diketahui, pijakan hukum pelaksanaan Pilkades serentak tahun 2019 berubah tiga kali dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pertama pelaksanaan kepala desa mengacu pada Perbup Nomor 27 tahun 2019 yang ditetapkan pada 15 Mei 2019. Namun, Perbup itu tidak berlaku pasca lahirnya Perbup Nomor 39 tahun 2019 yang disahkan pada 21 Juni 2019.
Kedua Perbup itu sebagai turunan dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2014 tentang Pedoman Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa.
Namun, pada 23 Agustus 2019 Perda Nomor 8/2014 direvisi menjadi Perda Nomor 3 tahun 2019 tentang Desa. Dengan begitu kedua Perbub juga harus direvisi. Saat ini lahirlah Perbup Nomor 54/2019 tentang Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa. Dengan begitu, pelaksanaan Pilkades serentak saat ini mengacu pada Perbup Nomor 54/2019 yang baru disahkan pada 30 Agustus 2019. (JUNAIDI/SOE/DIK)