Oleh: Miqdad Husein
Seorang guru besar fakultas hukum menyampaikan pernyataan kurang arif terkait wacana RUU KUHP. Dengan tanpa rasa bersalah ia mengatakan bahwa yang menolak RUU KUHP memperlihatkan watak kolonial.
Pernyataan bernada provokatif yang lebih pas dipajang di spanduk itu jika disampaikan sekelompok mahasiswa masih bisa dipahami. Namun jika keluar dari seorang guru besar hukum tentu saja, membuat siapapun yang berpikir sehat akan geleng-geleng kepala.
Persoalannya tentu saja bukan setuju dan tidak setuju. Menolak dan tidak menolak. Biasa saja jika terjadi perbedaan menyangkut tentang hal apapun apalagi terkait RUU yang terdiri dari ratusan pasal. Menjadi masalah ketika penolakan atau penerimaan diikuti stigma buruk. Masing-masing yang terlibat pro dan kontra saling menuding dan bukan justru berdialog.
Penolakan mahasiswa secara keseluruhan terhadap RUU KUHP mungkin bisa dimaklumi walau tak bisa dibenarkan. Sikap itu jelas bukan mencerminkan watak dunia akademis. Namun karena mahasiswa masih dalam proses belajar, apalagi belum sepenuhnya bisa berpikir integral, apalagi belum intensif mengkaji ya itu tadi, masih layak untuk dibimbing dan diingatkan.
Berbeda sekali bila lontaran bernuansa simplifikasi (menyederhanakan) masalah datang dari seorang pakar hukum, apalagi bergelar guru besar. Pernyataan itu sama saja melayani cara pikir ke kanak-kanakan para mahasiswa dengan cara ke kanak-kanakan pula.
Memang terasa penolakan terhadap RUU KUHP belakangan ini memperlihatkan kecenderungan menggunakan bahasa media yang kadang sedikit bernuansa pasar. Pemaparan masalah sering pula jauh dari utuh.
Terjadi kecenderungan pada sebagian yang menanggapi hanya atas dasar membaca dalam lintasan. Tak aneh merebak juga plesetan atau plintiran yang menyebabkan jauh dari persoalan riilnya. Tafsir yang berkembang kadang pula liar.
Dalam kondisi pemikiran ‘chaos’ seperti itu para pakar hukum seharusnya menjernihkan dan mencerahkan. Para intelektual, akademisi merespon dengan memberikan pencerahan. Bukan ikut-ikutan terjebak menyederhanakan masalah apalagi kemudian menuding dengan memberikan stigma buruk.
Karena itu penting diarahkan dan didengar apa sebenarnya yang membuat mereka, terutama para mahasiswa menolak RUU KUHP. Tanyakanlah secara arif pasal apa yang ditolak. Dasarnya pemikirannya apa penolakan itu, sehingga para pakar bergelar guru besar mengetahui sekaligus dapat meluruskan jika ternyata ada kesalahan pemahaman atau kekeliruhan informasi.
Sekali lagi perlu diingat RUU KUHP itu ratusan pasal. Menolak dan menerima secara keseluruhan tanpa kecuali adalah kenaifan intelektual. Itu sama saja menafikan kondrat kemanusiaan. Bukankah menusia makhluk yang memiliki kemampuan berpikir. Bukankah lain kepala sangat mungkin beda pula pemikirannya. Selalu ada potensi kemungkinan berbeda pemikiran. Paling tidak penafsiran atau penekanan tertentu.
Kesadaran dan pemahaman tentang potensi berbeda itulah yang perlu diingat agar tak gampang memberikan stigma buruk kepada mereka yang berbeda pandangan. Bagaimanapun perlu diingat stigma buruk akan melahirkan hal serupa. Lalu sampai kapan masalah selesai bila terus menerus kepada yang berbeda saling memberikan stempel buruk? (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.