KORANMADURA.com – Yatim, 12, bukan nama sebenarnya sejak 2016 lalu terpaksa berhenti bersekolah setelah ayahnya, ZH, 37, dinyatakan positif menderita kusta. Kedua orangtuanya memintanya tidak melanjutkan sekolah karena kawatir menerima ejekan teman sekolahnya. Warga Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang itu, semestinya sekarang sudah kelas dua jenjang pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kini, ia terpaksa merantau ke Jakarta berjualan kopi keliling.
Ditemui saat akan berangkat ke Jakarta di ruang tunggu salah satu Bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) di Sampang, awal November, Yatim tidak banyak menjawab pertanyaan koranmadura.com. Hanya beberapa pertanyaan yang ia jawab, itupun dengan kalimat sangat singkat. Pemuda yang sengaja menyemir rambutnya dengan warna pirang itu juga terlihat kurang berkenan dan memilih sibuk menata barang bawaannya yang terbungkus dalam dua dus mie instan dan satu tas punggung.
Yatim, bukan satu-satunya anak-anak dari keluarga penderita kusta yang harus kehilangan haknya mendapatkan pendidikan yang layak dan harus merantau ke tempat yang tidak satupun ada orang tahu bahwa mereka berasal dari keluarga penderita kusta.
Dari jumlah penderita kusta di Sampang yang mencapai 329 orang pada 2018, terdapat sekitar 87 orang anak yang secara tidak langsung menerima dampak sosial akibat penyakit yang dianggap kutukan tersebut. Sebagian dari mereka mendapatkan pembatasan hubungan sosial dengan lingkungannya.
Ketua Madura Develepment Watch (MDW), Tamsul, mengatakan penanganan dampak penyakit kusta, seharusnya dilakukan secara menyeluruh, termasuk dampak sosial yang dirasakan anak-anak para penderita.
Mereka yang tidak pernah tahu orang tuanya terkena penyakit yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai penyakit kutukan tersebut, secara tidak langsung kehilangan sebagian hak karena dianggap menjadi bagian yang harus dihindari dengan alasan takut tertular dan menjadi media penularan.
“Padahal, mereka juga tidak pernah berharap lahir dari ayah atau ibu yang menderita penyakit menular,” katanya.
Menurutnya, memang tidak semua keterkucilan anak-anak keluarga penderita kusta dari lingkungan sosial itu akibat dikucilkan masyarakat, tapi ada juga dari mereka yang sengaja mengucilkan diri atau keluarganya yang membatasi pergaulan. Itu disebabkan karena kuatnya stigma kusta sebagai penyakit kutukan.
Sejauh ini, kata dia, penanganan kusta yang dilakukan pemerintah masih bersifat penanganan penderita dan antisipasi penularan dan sangat sedikit sekali yang berkaitan dengan pemulihan dampak sosial.
Pemerintah, jelas Tamsul, memiliki potensi besar untuk kampanye eliminasi dampak sosial penyakit kusta, disamping penanganan secara medis yang memiliki jejaring hingga ke tingkat dusun.
Terrdapat beberapa program pemerintah yang memiliki tenaga pendamping hingga tingkat paling bawah, misalnya Program Keluarga Harapan (PKH), Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) serta Progam Kotaku. Progam tersebut bisa digunakan sebagai sarana penyadaran masyarakat terhadap dampak sosial kusta.
“Selama ini pelaksanaan program masih bersifat menyerap anggaran dan belum mencari nilai lebih dari program tersebut,” jelas Tamsul.
Penanganan dampak kusta, jellas dua, harus dilakukan secara menyeluruh dengan menggunakan potensi yang dimiliki. Misalnya, penanganan penyakit menggunakan tenaga medis, penanganan kesadaran masyakat menggunakan tenaga pendamping program sementara penanganan damoak sosial menggandeng pihak-pihak peduli seperti organisasi kemasyarakatan dan Lembaha Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga pendidikan.
“Jika ini dilakukan sebagai sebuah gerakan, saya yakin hasilnya lebih maksimal. Jangan sampai penyakitnya tertangani, tapi dampak sosialnya tidak. Karena kusta tidak bisa dilepaskan dari stigma sosial,” jela
Anggota Forum Kajian Islam dan HAM Madura, Mohammad Ali Humaidi, mengatakan hak anak-anak dari keluarga penderita kusta memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari stigma negatif disamping hak lain yang harus mereka dapatkan.
“Masa depan mereka sangat berarti. Karena bisa jadi pembangunan negeri ini di masa yang akan datang ada di tangan mereka,” kata Ali Humaidi.
Dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Madura itu menjelaskan anggapan bahwa anak-anak itu adalah bagian dari media penularan kusta dan harus dikucilkan, telah menghilangkan banyak hak mereka yang seharusnya dilindungi sesuai undang-undang dan nilai kemanusiaan.
Seharusnya, kata Ali Humaidi, anak-anak dari keluarga penderita kusta itu difasilitasi untuk tetap mendapatkan hak dasarnya, seperti pendidikan, kesehatan dan perlindungan dari kondisi sosial dan kejiwaan.
“Bisa saja pindah sekolah atau ke Pindok Pesantren. Yang penting tidak kehilangan hak,” katanya.
Ia mengingatkan, kewajiban menjaga hak anak bukan semata kewajiban negara dan keluarga. Tapi juga kewajiban semua warga negara. Karenanya, ia sangat setuju jika pemerintah berinisiatif melibatkan semua unsur termasuk organisasi kemasyarakatan dan LSM untuk program penyadaran. (G. MUJTABA/ROS/VEM)