Oleh: Miqdad Husein
Ketika seseorang tampil berbeda dari komunitas masyarakat tanpa perlu penjelasan ilmiah secara aksioma akan mudah menjadi titik atau pusat perhatian. Apalagi bila tingkat perbedaan sangat khusus atau jauh berbeda dari tampilan kebiasaan seluruh masyarakat. Tak perlu berbekal pengetahuan tinggi memahami realitas sosial itu.
Setiap saat fenomena itu sering terjadi di tengah masyarakat dengan berbagai variannya. Bahkan dalam lingkungan sosial kecilpun mudah ditemukan. Misalnya dalam acara pengajian ibu-ibu, jika ada yang tampil glamor saja akan merebak bisik-bisik ‘tetangga.’
Tampil beda bisa tanpa kesengajaan bisa pula memang atas dasar kesadaran. Yang tak sengaja misalnya karena salah kostum. Acara resepsi di lingkungan masyarakat yang agak religius tampil memakai rok mini atau tank top. Atau sebaliknya di acara pesta hura-hura tanpa rencana tampil sangat religius.
Yang kesadaran atau kesengajaan bisa atas dasar menerapkan misalnya keyakinan keagamaan. Bila penampilan itu berbeda dari masyarakat kebanyakan sudah pasti menarik perhatian.
Cadar dan celana cingkrang yang sedang ramai menjadi pembicaraan masuk dalam kategori tampil beda. Makin menjadi pembicaraan dan bukan lagi perhatian atas dasar spontanitas setelah Menteri Agama Fachrul Razi bicara secara terbuka.
Dikaitkan radikalisme juga hal yang sangat mungkin terjadi. Sama dengan asumsi atau persepsi bahwa pakaian rok mini menjadi penyebab merebaknya perkosaan. Dua-duanya jelas dipandang atas dasar jauh dari kajian dan pembuktian ilmiah.
Respon masyarakat juga tergantung dari seberapa jauh tingkat kekuatan titik tolak tampil beda. Jika sekedar iseng reaksipun ya ringan-ringan saja. Jika titik berangkat sangat serius reaksipun akan sangat serius.
Cadar dan cingkrang menjadi perhatian serius karena titik berangkat tampilan beda itu sangat serius. Mereka yang memakai cadar dan celana cingkrang atas dasar keyakinan keagamaan hingga reaksi pun sangat serius dengan dasar-dasar sama yaitu agama.
Jadi sebenarnya ketika muncul perhatian terhadap cadar dan cingkrang ya karena mereka yang memakai juga atas dasar kesungguhan. Seandainya mereka pakai sekedar mode saja tentu reaksi dan aksi pun akan biasa saja.
Keseriusan akan memunculkan reaksi penolakan serius ketika harus berhadapan tatanan yang juga serius. Mereka yang pakai cadar atas dasar keyakinan keagamaan tentu saja akan berhadapan penolakan ketika bertemu aturan baku seragam di lingkungan instansi tertentu.
Contoh paling sederhana ketika ke kantor polisi. Ada ketentuan yang mengharuskan memakai sepatu. Atau jika seseorang mengendarai mobil masuk kantor polisi kaca harus dibuka. Demikianlah pula helm dan kaca mata hitam harus dibuka saat memasuki kompleks kepolisian.
Bisa dibayangkan jika hal biasa saja mendapat perhatian ketika memasuki area khusus. Apalagi ketika seseorang tampil khusus memakai cadar. Seorang dosen pernah menolak mahasiswi pakai cadar dalam ruang belajar karena si dosen berkeyakinan bahwa belajar merupakan tatap muka bukan tatap mata. Belum lagi katanya kemungkinan ada penyalahgunaan misalnya yang hadir bukan mahasiswi asli tapi orang lain.
Keyakinan dan mode memang hak asasi manusia. Namun tetap terikat pula terhadap hak asasi yang lebih memberikan perlindungan lebih luas, kepada masyarakat.
Jadi, jika ada larangan cadar masuk instansi pemerintah sebenarnya sama saja larangan pakai rok mini, pakai sarung, pakai sandal. Tapi cadar kan keyakinan agama. Lha, itu keyakinan mereka. Yang melarangpun memiliki keyakinan bahwa cadar bukan keyakinan agama. Apalagi keyakinan keagamaan untuk cadar hanya pada segelintir orang. Bukan seperti hijab atau jilbab yang mayoritas ummat mengetahuinya sebagai kewajiban.
Pernyataan Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang menegaskan larangan memakai cadar tidak bertentangan dengan ajaran Islam gambaran jelas bahwa yang berpendapat cadar bukan ajaran Islam memiliki pijakan dalil jelas. Kalangan Nahdatul Ulama juga sudah jadi rahasia umum tak pernah menganggap cadar sebagai ajaran Islam.
Cadar tak lebih sebatas budaya. Ketika ternyata cadar menjadi sesuatu yang jauh dari kelaziman dengan budaya negeri ini apalagi ketika ternyata menimbulkan syak wasangka sosial, kekhawatiran dimanfaatkan untuk tindakan kriminal, rasanya kurang arif memaksakan diri memakai cadar. Begitulah.